Pernah membayangkan bagaimana rasanya apabila sedari kecil selalu
dimanjakan dengan makanan restoran mewah dengan segala pelayanannya? Puluhan
tahun yang dimakan adalah menu-menu dari masakan koki nomer satu, lantas apakah
akan tetap bisa merasakan nikmatnya tiap masakan tersebut atau justru malah akan
menjadi menu makanan yang terasa biasa saja atau hambar. Yang pada akhirnya
tidak bisa lagi menghargai betapa berharganya masakan nikmat tersebut, karena
menganggapnya itu adalah makanan biasa saja tidak ada yang istimewa.
Bukankah untuk tahu putih itu harus tahu hitam juga, untuk tahu rasanya
enak bukankah seharusnya tahu juga bagaimana rasa yang tidak enak. Bagaimana
bisa tahu putih bila belum tahu hitam, bagaimana tahu terang kalau belum tahu
gelap, bagaimana bisa menyebut makanan enak kalau belum pernah merasakan makan
yang tidak enak.
Mungkin seperti itulah rencana yang memang segaja diatur Tuhan pada
penciptaan Adam AS, tergodanya Adam hingga membuatnya “terbuang” dari sorga
adalah hal yang memang akan terjadi dan harus terjadi. Untuk mengajari Adam
bagaimana perbedaan rasanya nikmat surga dan betapa tidak enaknya turun ke alam
dunia. Mengajari Adam bagaimana rasa nikmatnya dekat dengan Tuhan dan rasanya
jauh dari Tuhan.
Atau bisa juga ini untuk mengajari Adam tentang kerinduan dan cinta kepada
Tuhan, orang yang tidak pernah merasakan patah hati dipastikan tidak akan
pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Orang yang tidak pernah pergi jauh
atau meninggalkan orang terkasih tidak akan pernah merasakan rindu yang
terpendam.
Tergelincirnya Adam dari surga bisa jadi adalah sebuah anugerah, yang
bahkan mungkin memang sebuah sekenario yang sudah diatur oleh Tuhan. Sebuah
sekenario yang memang sudah dipersiapkan sedari awal, satu paket komplit bersamaan
dengan penciptaan Adam itu sendiri.
Dan mungkin yang lebih penting lagi adalah sarana untuk mengajari Adam
betapa Maha Pengampunnya Tuhan. Sebesar apapun kesalahan yang dilakukan Adam
(beserta anak turunnya) Tuhan pasti mengampuninya. Namun begitu, sama halnya
dengan orang tua yang sayang pada anaknya, meski ampunan dan maaf sudah
diberikan namun untuk mengajari anaknya rasa bertanggunjawab atas kesalahan
yang pernah dilakukannya, maka hukuman tetap akan diberikan.
Rasanya tak mungkin Tuhan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan
ciptaannya, tak mungkin Tuhan tidak tahu seperti apa ciptaannya itu nantinya.
Apa yang terjadi pada ciptaannya kelak, jelas akan dengan sangat detail
diketahui oleh Sang Penciptannya.
Dan apa yang dialami Adam ini dialami juga setiap anak turunnya, setiap Ruh
yang turun (terlahir) kedunia akan merasakan hal yang serupa meski tidak sama.
Ruh yang sebelumnya “mungkin” dekat dengan Sang Penciptanya kini harus
merasakan terpisah. Memunculkan rasa rindu yang tiada akhir dan membawa pula pada
pencarian yang tiada henti pada Sang Maha Sejati.
Bagaimanapun juga, keinginan Tuhan untuk menciptakan alam semesta ini
(termasuk didalamnya penciptaan Adam), bila dilihat dari sudut pandang makhluk
yang terbatas kemampuannya memang menjadi sebuah misteri yang sangat pekat.
Penciptaan ini menjadi sebuah kehendak bebas dari Tuhan, karena bisa saja
Tuhan tidak berkehendak sama sekali
untuk membuat alam semesta ini untuk mengada (dan itu tidak membuat Tuhan
menjadi bukan Tuhan).
(Renungan Surat Al Baqarah)