Beberapa waktu yang lalu saya mengantar family ke rumah sakit, setelah si
sakit selesai ditangani di sarankan untuk menjalani rawat inap. Sambil menunggu
persiapan pindah kamar selesai, saya duduk di ruang tunggu UGD, malam itu
pasien yang datang ke UGD tidak banyak, diantatanya famili saya, seorang anak seumuran
anak SMP, kemudian datang lagi hampir bersamaan 2 orang yang sudah sepuh (tua).
Yang satu seorang nenek, saat masuk terlihat hanya terbaring lemah tak ada
suara atau gerakan kesakitan. Yang satunya lagi seorang kakek, tubuhnya
menegang dan samar-samar dari mulutnya terdengar suara menyebut-nyebut Asma dan
Keagungan-Nya. Saya pikir baguslah, saat-saat kritis seperti itu masih bisa menyebut
Asma-Nya, soalnya tidak sedikit ketika merasakan sakit yang sangat malah menyebut
kata-kata yang tak pantas dan supah serapah.
Beberapa waktu kemudian si nenek di bawa keluar lagi, dari percakapan para pengantar
yang bisa saya tangkap, kelihatannya sang nenek harus dirujuk kerumah sakit
yang lebih lengkap peralatannya, sementara untuk sang kakek saya tidak tahu lagi
kelanjutannya, karena saya sudah bersiap-siap untuk memindahkan famili saya ke
kamar rawat inap.
Sesampainya dirumah pikiran saya tidak lantas berhenti begitu saja, justru
malah berputar-putar karena pemandangan itu sulit lepas dari pikiran, terutama
tubuh tegang dan ekspresi wajah dari sang kakek yang seperti ketakutan. Dan
menurut otak-atik pikiran liar saya, kelihatannya penyebutan Asma dan
Keagungan-Nya lebih seperti sebuah doa-doa dan harapan untuk terus hidup,
ekspresinya seperti takut akan kematiannya atau takut terpisah dari semua yang
dimilikinya (keluarga, harta dan sebagainya).
Kesimpulan saya tersebut mungkin merupakan gambaran bawah sadar saya
sendiri, bahwa saya sebetulnya juga takut bila berada di posisi kakek tersebut.
Padahal kematian itu adalah satu-satunya yang pasti diantara ketidakpastian di
alam dunia ini. Akankah saya pada akhirnya juga akan seperti kakek itu? Takut
terpisah dengan dunia, takut kehilangan segala nikmat indrawi yang sudah
terlanjur melekat dan berkarat dalam pola pikir dunia materi ini?
Bukankah selama ini para nabi dan wali sudah memberikan ajaran-ajaran
dan tauladan untuk menghadapi saat-saat seperti itu. Sudah cukupkah ajaran ataupun
wejangan nari para nabi dan wali yang sudah saya praktekkan, dan bisa menjadikan
saya siap menghadapinya? Ataukah semua praktek dan ritual yang saya jalankan hanya
sekedar ritual tanpa makna? Sebuah ritual yang hanya sekedar gugur kewajiban
saja, sehingga ajaran dan prakteknya tidak bisa meresap masuk dalam laku
sehari-hari.......?