Minggu, 31 Maret 2019

(Lanjutan) Hijrah, Haruskah Menjadi Miskin?

Uneg-uneg kedua,

Radikal nya radikal (mumpung lagi ngetren), dari Islam itu adalah memurnikan tauhid, meniadakan Tuhan yang lain selain Allah.

Menduakan Tuhan (syirik) dalam wujud-wujud kasar, saya yakin sebagian besar Muslim sudah melawatinya dan orang-orang Salaf adalah jagonya. Keimanan mereka tidak bakal goyah oleh kekuatan lain seperti jimat, berhala, tempat-tempat keramat, hingga penguasa laut dan gunung.

Tapi bagaimana dengan syirik yang lebih halus, yang hanya terbetik dalam hati dan melintas dipikiran. 

Misalnya, 

Apa yang terbetik dalam hati dan terlintas dalam pikiran pelaku Salaf, ketika dua hari tidak memperoleh rejeki sama sekali?

Biasanya ada saudara Salaf yang datang, membawa sekilo dua kilo beras...

Biasanya ada ibu A, yang berbagi makanan...

Biasanya ada pak B, yang menawari pekerjaan bersih-bersih rumah...

Tapi sudah dua hari tidak seperti itu, belum ada makanan sedikitpun  yang masuk ke perut...

Disaat seperti apa yang ada dihati dan pikirannya?

Masihkah hatinya berdiri kokoh seperti pohon raksasa, dihatinya hanya ada Allah semata, teguh dan menetap?

Atau hatinya mulai mendua, samar-samar terbetik dalam hatinya, harapan akan ada saudaranya yang datang mengantar sekilo beras, harapan pada ibu A yang datang berbagi makanan, harapan pada pak B yang datang menawari pekerjaan.

Katakanlah dia sendiri sudah bisa, hatinya kokoh tak terhoyahkan, tapi bagaimana dengan istrinya, bagaimana dengan anaknya, apakah level mereka juga sama? Bagaimana kalau istrinya diam-diam dalam hatinya mengeluh, bagaimana kalau diam-diam anaknya menangis sedih?

Atau misalnya pada saat sakit yang parah, butuh perwatan di rumah sakit, yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Apa yang akan dilakukannya? Apakah hatinya akan terus bersandar pada Allah, atau dia justru lari pada makhluk, mencari pinjaman uang untuk biaya pengobatan?

Itulah uneg-uneg saya tentang orang-orang yang berhijrah meninggalkan semuanya, meski saya tahu keimanan adalah hal rumit, panggilan hati, tiap-tiap orang berbeda pengalamannya, berbeda rasanya, dll.

Sebagai penutup,

Shirat al-Mustaqim, jalan lurus yang diibaratkan seperti rambut dibelah tujuh, ke kanan sedikit tergelincir, ke kiri sedikit terpeleset. Jalan yang payah, untuk pemula ataupun yang lama, sama saja, terengah-engah, setapak demi setapak, entah kapan sampainya, atau malah tidak pernah sampai diujungnya.

Ada kalimat yang saya lupa darimana, ayat, hadis, buku atau malah dari seseorang, "...bukan amal ibadahmu yang akan menyelamatkan mu, tapi cinta-Nya kepadamu dan rindumu kepada- Nya".

Bukan Alphard atau Rubicon yang bisa megantar seseorang untuk mudik ke kampung halamannya, tapi rasa rindunya pada keluarga dan cinta dari orang-orang tersayanglah, yang membuat seseorang sanggup dan kuat berdempet-depetan di kapal Pelni, berhari-hari.

Jumat, 29 Maret 2019

Hijrah, Haruskah Menjadi Miskin?

Jaman dulu mungkin lebih mirip dengan perilaku zuhud, dijaman kekinian banyak yang menyebutnya hijrah, laku lampah menolak dunia. Dulu zuhud ini biasa dilakukan oleh mereka yang mendalami laku Sufi, kini gerakan ini banyak diusung oleh mereka yang biasa menyebut dirinya pengikut Salaf. 

Menjadi Salaf bisa dibilang menjadi "radikal", kembali ke prinsip-prinsip yang paling mendasar dalam ber-Islam, kembali menjadi seperti jaman Rosulullah dan para sahabat generasi awal. Cara beribadah, cara makan, cara berbicara,  hingga cara berpakaian, semuanya diembalikan lagi seperti apa yang dipakai oleh Rosulullah (Sunnah Nabi).

Tren-nya semakin naik di kota-kota besar, oleh orang-orang yang terbilang mapan kehidupannya. Gemerlap kota malah menyisakan ruang hampa dalam hati penduduknya, mungkin itu yang dirasakan mereka.

Dan dari apa yang saya lihat dan saya baca tentang orang-orang yang berhijrah ini, ada dua hal yang jadi uneg-uneg....

Pertama

Haruskah berhijrah itu menjadi miskin? Tidak bisakah menjadi "Rosulullah" tapi tetap kaya raya? Tidak bisakah mendekati Allah, dengan cara seperti Nabi Suliaman? Kaya, ganteng, dan tetap masuk surga. 

Bukan kah kemanapun engkau menghadap, ada wajah Nya? Bukan kah kuman hingga alien bisa megantarkanmu kepada Nya? Apalagi cuma masalah kaya-miskin, laki-perempuan, jahat-baik, dan lain sebagainya.

Kenapa berhijrah itu harus meninggalkan pekerjaan tetapnya, aktifitas hariannya, dan lain sebagainya? Disaat orang lain berharap bisa hidup berkecukupan, dan punya pekerjaan serta penghasilan seperti mereka, orang-orang ini justru bergerak meninggalkannya, membuang semua kesempatan itu.

Disaat yang bersamaan pula, masih banyak umat muslim yang hidupnya jauh dari berkecukupan. Karena lingkaran setan kemiskinan, bapaknya miskin, tidak bisa menyekolahkan anaknya, akhirnya anaknya cuma jadi kuli dan buruh, akhirnya punya anak lagi, ga bisa nyekolahin lagi, jadi buruh lagi, muter-muter seperti itu terus.

Dan kalau mereka meninggalkan pekerjaan mapannya, bukannya dia malah akan menambah jumlah umat yang masuk dalam golongan fakir miskin? Menambah jumlah umat yang terjerat lingkaran setan? Trus kapan umat ini akan maju, dan menjadi pembawa perubahan?

Tidak bisakah, misalnya berhijrah tapi tetap bekerja, tetap beraktifitas, dan lain sebagainya, layaknya seperti biasanya?

Atau misalnya begini, tetap bekerjalah ditempat yang sekarang, hanya saja gaya hidupnya yang diubah, biasa naik mobil ganti motor atau naik kendaraan umum, biasanya makan mewah ganti makan secukupnya, dll. 

Untuk gaji atau penghasilannya, katakanlah di kota besar rp. 10 juta, kebutuhan hidupnya sebulan (makan, pakain, listrik, dll) rp. 5 juta, masih sisa rp. 5 juta tiap bulannya. Sisanya jangan ditabung, berikan kepada tetangga yang membutuhkan, yang lagi sakit, yang anaknya ga bisa sekolah, yang terlilit hutang, dll.

Bukannya Allah itu Maha Bijak, ada yang dikaruniai kepintaran, keberuntungan hingga orang tersebut bisa bekerja ditempat yang enak, ada pula yang sebaliknya.

Bukannya Allah itu Maha Adil, ada yang diciptakan kekurangan, ada pula yang berlebih, kalau ada yang kaya mestinya ada yang miskin, agar si kaya bisa memberi ke yang miskin (dan kemudian merasa pongah).

Amal ibadah itu bukankah bukan hanya masalah banyak-banyakan menjalankan yang sunah-sunah, tapi bukannya juga bisa dengan mengamalkan keilmuannya, mengamalkan kepintarannya, dll.

Sedekah kepintaran, sedekah keberuntungan, sedekah tenaga, bukannya itu juga termasuk cara kita bersyukur atas pemberian Allah, dan orang yang padai bersyukur bukannya akan dilipat gandakan lagi nikmatnya.
(...maka nikmat mana lagi yang kau dustakan)

Bersambung....