Jumat, 29 Maret 2019

Hijrah, Haruskah Menjadi Miskin?

Jaman dulu mungkin lebih mirip dengan perilaku zuhud, dijaman kekinian banyak yang menyebutnya hijrah, laku lampah menolak dunia. Dulu zuhud ini biasa dilakukan oleh mereka yang mendalami laku Sufi, kini gerakan ini banyak diusung oleh mereka yang biasa menyebut dirinya pengikut Salaf. 

Menjadi Salaf bisa dibilang menjadi "radikal", kembali ke prinsip-prinsip yang paling mendasar dalam ber-Islam, kembali menjadi seperti jaman Rosulullah dan para sahabat generasi awal. Cara beribadah, cara makan, cara berbicara,  hingga cara berpakaian, semuanya diembalikan lagi seperti apa yang dipakai oleh Rosulullah (Sunnah Nabi).

Tren-nya semakin naik di kota-kota besar, oleh orang-orang yang terbilang mapan kehidupannya. Gemerlap kota malah menyisakan ruang hampa dalam hati penduduknya, mungkin itu yang dirasakan mereka.

Dan dari apa yang saya lihat dan saya baca tentang orang-orang yang berhijrah ini, ada dua hal yang jadi uneg-uneg....

Pertama

Haruskah berhijrah itu menjadi miskin? Tidak bisakah menjadi "Rosulullah" tapi tetap kaya raya? Tidak bisakah mendekati Allah, dengan cara seperti Nabi Suliaman? Kaya, ganteng, dan tetap masuk surga. 

Bukan kah kemanapun engkau menghadap, ada wajah Nya? Bukan kah kuman hingga alien bisa megantarkanmu kepada Nya? Apalagi cuma masalah kaya-miskin, laki-perempuan, jahat-baik, dan lain sebagainya.

Kenapa berhijrah itu harus meninggalkan pekerjaan tetapnya, aktifitas hariannya, dan lain sebagainya? Disaat orang lain berharap bisa hidup berkecukupan, dan punya pekerjaan serta penghasilan seperti mereka, orang-orang ini justru bergerak meninggalkannya, membuang semua kesempatan itu.

Disaat yang bersamaan pula, masih banyak umat muslim yang hidupnya jauh dari berkecukupan. Karena lingkaran setan kemiskinan, bapaknya miskin, tidak bisa menyekolahkan anaknya, akhirnya anaknya cuma jadi kuli dan buruh, akhirnya punya anak lagi, ga bisa nyekolahin lagi, jadi buruh lagi, muter-muter seperti itu terus.

Dan kalau mereka meninggalkan pekerjaan mapannya, bukannya dia malah akan menambah jumlah umat yang masuk dalam golongan fakir miskin? Menambah jumlah umat yang terjerat lingkaran setan? Trus kapan umat ini akan maju, dan menjadi pembawa perubahan?

Tidak bisakah, misalnya berhijrah tapi tetap bekerja, tetap beraktifitas, dan lain sebagainya, layaknya seperti biasanya?

Atau misalnya begini, tetap bekerjalah ditempat yang sekarang, hanya saja gaya hidupnya yang diubah, biasa naik mobil ganti motor atau naik kendaraan umum, biasanya makan mewah ganti makan secukupnya, dll. 

Untuk gaji atau penghasilannya, katakanlah di kota besar rp. 10 juta, kebutuhan hidupnya sebulan (makan, pakain, listrik, dll) rp. 5 juta, masih sisa rp. 5 juta tiap bulannya. Sisanya jangan ditabung, berikan kepada tetangga yang membutuhkan, yang lagi sakit, yang anaknya ga bisa sekolah, yang terlilit hutang, dll.

Bukannya Allah itu Maha Bijak, ada yang dikaruniai kepintaran, keberuntungan hingga orang tersebut bisa bekerja ditempat yang enak, ada pula yang sebaliknya.

Bukannya Allah itu Maha Adil, ada yang diciptakan kekurangan, ada pula yang berlebih, kalau ada yang kaya mestinya ada yang miskin, agar si kaya bisa memberi ke yang miskin (dan kemudian merasa pongah).

Amal ibadah itu bukankah bukan hanya masalah banyak-banyakan menjalankan yang sunah-sunah, tapi bukannya juga bisa dengan mengamalkan keilmuannya, mengamalkan kepintarannya, dll.

Sedekah kepintaran, sedekah keberuntungan, sedekah tenaga, bukannya itu juga termasuk cara kita bersyukur atas pemberian Allah, dan orang yang padai bersyukur bukannya akan dilipat gandakan lagi nikmatnya.
(...maka nikmat mana lagi yang kau dustakan)

Bersambung....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar