Kamis, 26 Januari 2017

Kisah Stempel, Hoax dan Rocky Gerung




Kisah ini berhubungan erat dengan stempel yang digunakan sebagai penanda penyortiran barang atau bahkan mungkin juga digunakan pada orang.

Untuk ilustrasi, ku awali kisah ini dari gudang penyortiran sayur-mayur dan buah-buahan. Sebagai gudang sayur dan buah yang menjadi satu, terkadang ada saja buah dan sayur yang salah tempat. Karena berwarna orange terkadang jeruk di stempel dan masuk kedalam golongan  wortel, atau karena bentuknya bulat terkadang tomat di stempel dan masuk kedalam golongan jeruk, dan lain sebagainya.

Entah karena kurang teliti atau malas berpikir atau justru memang disengaja.

Dan seperti itulah yang tengah terjadi pada seorang Rocky Gerung, karena beberapa pernyataanya terutama tentang hoax, telah membuat banyak orang (awam hingga ahli) menyetempel atau mengecapnya sebagai orang pro-hoax.

Dimana saat ini pro-hoax  adalah ditujukan pada golongan yang diangap sebagai aliran yang terlalu kanan dan radikal. Golongan yang katanya sering dinilai sebagai ahli bikin berita hoax dan menyebar segala bentuk hoax beserta turunannya.

Maka dari itu, di hari-hari belakangan  ini  Rocky Gerung dimasukkan/distempel/dicap sebagai pengikut mereka, bahkan yang lebih sadis lagi di olok-olok sebagai filsuf lokal yang gagal memahami ajaran filsuf Zizek yang akhirnya menjadi pengikut Rizieq. 

Tapi benarkah seorang Rocky Gerung seperti itu? Coba kita cek beberapa peryataannya.

Yang terkenal adalah ini “Pembuat hoax terbaik itu  adalah penguasa…….”, dan dalam sebuah acara di televisi beliau sendiri sudah memberikan contohnya. Namun saya ingin menterjemahkan dan membuat contoh sendiri dari ucapan tersebut.

Misalnya begini, ketika seorang Bedjo, sepulang menggurus SIM membuat sebuah status, “ Mantap brow, nambah 200 rebu ngurus SIM sehari jadi, tanpa tes lagi!!!! ”, hanya sebuah status tanpa disertai bukti apapun. Sebuah status yang sudah menjadi rahasia umum dan sudah biasa dibicarakan dimana-mana, warung kopi, angkringan bahkan caffe dan restoran.

Apakah ketika status tanpa data dan bukti tersebut dibagikan oleh orang banyak dan kemudian viral di dunia maya, akan menjadikan Bedjo sebagai tersangka pembuat hoax? Dan penyebar status hoax? Dan oleh karenanya perbuatan ini Bedjo bisa dikenai pasal (karet) penyebaran hoax?

Sementara itu pemerintah dengan tegas menyangkal apa yang menjadi status Bedjo diatas, dengan mengeluarkan data-data yang ada, bahwa tidak ada pungutan liar pengurusan SIM, tidak ada laporan dan bukti yang masuk, tidak ada kerugian negara akibat praktek pungli tersebut.  

Dan apakah lantas secara otomatis pernyataan pemerintah tersebut adalah sebuah fakta? Sebuah kebenaran yang harus diamini seluruh rakyat Indonesia tanpa perlu dikritisi? Hanya karena diperkuat oleh data-data yang ada?

Dititik ini, Bedjo akan dianggap sebagai penyebar hoax sementara pernyataan pemerintah adalah sebuah fakta dengan data yang tidak terbantahkan.

Padahal apabila bila dilakukan sebuah penelitian (kalau mau), ambilah secara acak 100 pengendara yang sedang lewat dijalan raya, kemudian adakan tes ujian tulis dan praktek mengemudi yang sesuai standar untuk mendapatkan SIM. Akankah 100 pengendara tersebut lulus? Akankah para remaja 17 tahun banyak yang lolos? Akankah para bapak/ibu banyak yang lolos? Akankah para selebriti banyak yang lolos?

Sampai disini, kisah diatas akan menjadi terbalik, dan apa yang dinyatakan oleh Rocky Gerung menjadi suatu pembenaran, bahwa pembuat hoax terbaik adalah penguasa.

Lantas pemikiran Rocky Gerung agar tidak bersikap berlebihan terhadap masalah hoax ini, apakah harus distempel/dicap sebagai orang yang beraliran ke-kanan-kanan-an? Tidak bisakah pemikirannya dianggap sebagai bentuk kekhawatiran terhadap pemberangusan kebebasan berbicara? Pemberangusan kebebasan perpendapat? Pengkhianatan terhadap nilai-nilai dalam berdemokrasi? Berjuang agar pelangi negeri tetap warna-warni?.

Sayangnya, “Permainan” stempel dan cap ini memang permainan abadi, ada disepanjang jaman, lintas generasi dan tak lekang oleh waktu. Ditiap penguasa, maka permaian ini akan diulang lagi, diubah sana-sini, dipoles kanan-kiri, maka perubahan wujudnya tak lagi dikenali.

Teringat pada cerita para pendahulu, pada waktu lalu penggiat, penikmat, pekerja seni akan di stempel/di cap kiri, dibuang, diasingkan dan dicemo’oh, oleh tangan-tangan yang berseragam jelas.

Dan kini diulang lagi, dimainkan lagi, hanya saja sekarang dimodifikasi menjadi stempel/cap kanan, tidak dibuang, tidak diasingkan (tetapi dicoba dipisahkan) dan tetap dicemooh. Oleh tangan-tangan yang kini tidak lagi berseragam jelas, (tangan orang-orang yang diwaktu lalu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan menentang keras segala bentuk stempel dan cap kiri).

(tidak selalu berarti bahwa hoax itu 0 % kebenaran, ada asap selalu ada percik api)

Catatan:
Mohon maaf sebelumnya untuk pak Rocky Gerung karena namanya saya cantumkan disini, bila tidak berkenan akan saya hapus tulisan ini.

Selasa, 24 Januari 2017

Deradikalisasi, Haruskah Kebencian Dilawan Kebencian

Mungkin benar bahwa bicara itu memang lebih gampang ketimbang mempraktekkannya. Banyak atau sering mendengar ajakan moral untuk tidak mudah terpancing dengan isu kebencian tentang SARA, serta jangan mudah terpancing dengan provokasi yang mengajak kita untuk saling membenci satu sama lain.



Namun, membaca beredarnya cuitan di twitter tentang spanduk pelarangan pemutaran wayang, serta disuguhi gambar tentang siapa orang-orang yang menggoreng isu tersebut, seolah diperlihatkan dua sisi yang amat bertentangan.

Satu sisi memperlihatkan sifat kemanusiaannya, namun disisi lain justru menampilkan sisi yang tidak jauh berbeda dengan orang atau golongan (gerombolan istilah mereka) yang selama ini selalu ditentangnya.

Penyebaran gambar spanduk serta dibubuhi intro cuitan yang "halus" di twitter, tak ubahnya seperti putung rokok atau obat nyamuk bakar yang sengaja dibuang di hutan bergambut agar membakar habis seluruh hutan. Mudah, murah, tanpa jejak dan bisa dengan mudah cuci tangan agar tetap bersih tak berbau asap kebakaran.

Cara yang serupa tapi tak sama, mencoba menghilangkan sikap radikal (baca: saling membenci) yang belakangan ini makin marak, namun dengan menggunakan cara yang hampir sama, yaitu memupuk pula benih-benih kebencian pada pihak yang lain. 

Apa memang hanya itu satu-satunya cara yang terpikirkan untuk menghilangkan sikap radikal saat ini, atau mungkin mereka lagi pada malas berpikir untuk mencari cara lain? Atau mungkin mereka tengah diburu waktu yang semakin menyempit? Entahlah....

Tak sadarkah bahwa benih yang ditabur suatu saat akan tumbuh, membesar dan semakin besar, benih-benih yang ditanam saat ini akan berbuah suatu saat nanti. Disaat kekuasaan datang silih berganti, saat mereka sudah tidak disini lagi, saat benih-benih kebencian yang ditanam akan bertumbuh digenerasi berikutnya.

Dan sejarah akan berulang, suatu saat akan tiba masanya benih-benih para penggerak de-radikalisasi ini akan berubah menjadi sosok-sosok radikal berikutnya.