Sabtu, 02 Mei 2015

Turunnya Adam Adalah Anugrah?

Pernah membayangkan bagaimana rasanya apabila sedari kecil selalu dimanjakan dengan makanan restoran mewah dengan segala pelayanannya? Puluhan tahun yang dimakan adalah menu-menu dari masakan koki nomer satu, lantas apakah akan tetap bisa merasakan nikmatnya tiap masakan tersebut atau justru malah akan menjadi menu makanan yang terasa biasa saja atau hambar. Yang pada akhirnya tidak bisa lagi menghargai betapa berharganya masakan nikmat tersebut, karena menganggapnya itu adalah makanan biasa saja tidak ada yang istimewa.

Bukankah untuk tahu putih itu harus tahu hitam juga, untuk tahu rasanya enak bukankah seharusnya tahu juga bagaimana rasa yang tidak enak. Bagaimana bisa tahu putih bila belum tahu hitam, bagaimana tahu terang kalau belum tahu gelap, bagaimana bisa menyebut makanan enak kalau belum pernah merasakan makan yang tidak enak.

Mungkin seperti itulah rencana yang memang segaja diatur Tuhan pada penciptaan Adam AS, tergodanya Adam hingga membuatnya “terbuang” dari sorga adalah hal yang memang akan terjadi dan harus terjadi. Untuk mengajari Adam bagaimana perbedaan rasanya nikmat surga dan betapa tidak enaknya turun ke alam dunia. Mengajari Adam bagaimana rasa nikmatnya dekat dengan Tuhan dan rasanya jauh dari Tuhan.

Atau bisa juga ini untuk mengajari Adam tentang kerinduan dan cinta kepada Tuhan, orang yang tidak pernah merasakan patah hati dipastikan tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Orang yang tidak pernah pergi jauh atau meninggalkan orang terkasih tidak akan pernah merasakan rindu yang terpendam.

Tergelincirnya Adam dari surga bisa jadi adalah sebuah anugerah, yang bahkan mungkin memang sebuah sekenario yang sudah diatur oleh Tuhan. Sebuah sekenario yang memang sudah dipersiapkan sedari awal, satu paket komplit bersamaan dengan penciptaan Adam itu sendiri.

Dan mungkin yang lebih penting lagi adalah sarana untuk mengajari Adam betapa Maha Pengampunnya Tuhan. Sebesar apapun kesalahan yang dilakukan Adam (beserta anak turunnya) Tuhan pasti mengampuninya. Namun begitu, sama halnya dengan orang tua yang sayang pada anaknya, meski ampunan dan maaf sudah diberikan namun untuk mengajari anaknya rasa bertanggunjawab atas kesalahan yang pernah dilakukannya, maka hukuman tetap akan diberikan.

Rasanya tak mungkin Tuhan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan ciptaannya, tak mungkin Tuhan tidak tahu seperti apa ciptaannya itu nantinya. Apa yang terjadi pada ciptaannya kelak, jelas akan dengan sangat detail diketahui oleh Sang Penciptannya.   

Dan apa yang dialami Adam ini dialami juga setiap anak turunnya, setiap Ruh yang turun (terlahir) kedunia akan merasakan hal yang serupa meski tidak sama. Ruh yang sebelumnya “mungkin” dekat dengan Sang Penciptanya kini harus merasakan terpisah. Memunculkan rasa rindu yang tiada akhir dan membawa pula pada pencarian yang tiada henti pada Sang Maha Sejati.  

Bagaimanapun juga, keinginan Tuhan untuk menciptakan alam semesta ini (termasuk didalamnya penciptaan Adam), bila dilihat dari sudut pandang makhluk yang terbatas kemampuannya memang menjadi sebuah misteri yang sangat pekat.

Penciptaan ini menjadi sebuah kehendak bebas dari Tuhan, karena bisa saja Tuhan tidak berkehendak sama sekali untuk membuat alam semesta ini untuk mengada (dan itu tidak membuat Tuhan menjadi bukan Tuhan).

(Renungan Surat Al Baqarah)