Senin, 30 Oktober 2017

Janji Palsu Menolak Pulau Palsu?



 Samar-samar terdengar kabar fals (bukan Iwan yang kini bersura merdu), konon katanya ada pertemuan antara pemilik pulau palsu dengan calon gubernur baru (saat itu). Konon katanya pula, pertemuan itu, berisi bisik-bisik tetangga tentang penyelamatan dan pengamanan jalur menuju pulau palsu.

Tak berlebihan memang, mengingat proyek pulau palsu adalah proyek yang "luar biasah". Setelah mangkrak hampir 29 tahun sejak jaman orde baru, dengan ajaibnya bak sulap ala pak Tarno, dalam 3-4 tahun pembangunan pulau palsu ini sudah mendekati 80 %.

Dan harap dimaklumi juga karena yang punya gawe ini ibaratnya masih sebangsa dengan Night Fury, Terrible Terror, Gronckle, Monstrous Nightmare, Deadly Nadder, Hideous Zippleback, Boneknapper, Seadragonus Giganticus Maximus dan Bewilderbeast yang begitu perkasa.

Yang kekayaan per-orangnya aja bisa mencukupi kebutuhan dasar sepertiga penduduk negeri ini (catat: wajar kepentingan mereka lebih diutamakan). Sementara sebagai EO-nya adalah orang yang punya kuasa dan serba tahu segala urusan di jaman now, segala urusan tak akan bisa terjadi tanpa sepengetahuan dan ijin beliaunya.

Jadi berat rasanya bagi gubernur baru untuk bisa memenuhi janjinya menolak undangan hajatan di pulau palsu itu. Tangan-tangan perkasa dibalik pulau palsu jelas tidak akan tinggal diam, akan selalu cawe-cawe agar proyek ini akan terus berjalan.

Pertemuan-pertemuan seperti itu di hari belakangan ini semakin terlihat wajar saja, politik bukan lagi tentang suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat hanyalah alat dan jalan untuk menggapai puncak kepemimpinan melalui hajatan yang disebut dengan pesta demokrasi.

Politik menurut mereka adalah cair, tidak ada lawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Wajar juga bila saat ini yang banyak terjadi adalah politik prabayar atau politik ijon, karena tingginya biaya pencalonan untuk menjadi calon pemimpin. Dimodali terlebih dahulu oleh pemodal besar, namun kebijakan dan arah pemerintahan disesuaikan dengan kebutuhan pemodal.

Sementara bagi rakyat sendiri politik itu kotor, politik itu kejam dan tidak berperasaan, janji politik yang diingkari itu sudah biasa. Contohnya ada dimana-mana, tidak presiden, tidak gubernur, tidak bupati bahkan hingga lurah pun juga sama saja. Rakyat hanya dapat remah-remah kebijakan, hanya satu dua yang akan terpenuhi janji surga yang pernah dihembuskan pada mereka.

Dan seperti biasa setelah hajatan demokrasi bernama pemilu, yang keras, yang lembut, yang kejam, yang kalem, dan lain sebagainya, rakyat pemilih dengan perlahan namun pasti dilupakan. Hajatan demokrasi ibarat kemarau setahun yang diguyur hujan sehari, dengan cepat hilang tak berbekas. Nasib mereka tak akan jauh bedanya dengan setahun, lima tahun atau sepuluh tahun sebelumnya, masih sibuk ngurusi hari ini makan apa, bukan hari ini enaknya makan dimana....

Radikal dan Liberal Menjual Ketakutan, Siapa yang Menang?


indonesiana-Idologi.jpg




























Perasaan takut itu mungkin memang lebih mengerikan dari obyek yang ditakuti itu sendiri. Sebelum benar-benar melihat hantunya, orang sudah merasakan ngeri dengan suasananya yang mencekam, seperti suara yang terdengar, aroma yang tercium, bulu kuduk yang berdiri dan lain sebagainya.
Dan perasaan takut itu dimanfaatkan dengan baik sebagai strategi pemasaran oleh para sales marketing. Sebut saja iklan pelangsing badan, dengan menjual ketakutan akan aneka penyakit yang muncul akibat kegemukan. Atau iklan asuransi yang mengambarkan betapa sulitnya hidup, jika tidak mempunyai asuransi sebagai jaminan pendidikan, kesehatan, dan kematian.
Jika mengikuti media sosial akhir-akhir ini, maka tak mengherankan bila para pengusung dan penjual ideologi juga ikut-ikutan memakai strateginya. Mereka saling menjual dan mepropagandakan ketakutan, demi berebut pangsa pasar terbesar dinegeri ini, yaitu umat islam.

Sebagai mayoritas dengan jumlah yang besar, umat islam memang menjadi pangsa pasar yang mengiurkan dan potensial  untuk berjualan aneka produk. Baik produk nyata berupa barang konsumsi maupun produk tak nyata berupa aneka bentuk paham dan ideologi.
Didukung dengan banyaknya aliran dan percabangan dalam islam memang sangat mudah untuk membuatnya terbelah menjadi beberapa kubu.
Dari masa ke masa umat islam memang menjadi pasar yang potensial, seperti pada masa pemerintahan Orba, umat islam dimanfaatkan dengan baik untuk menjadi unjung tombak menghadapi ideologi kiri. Dengan prolog pembunuhan para ulama, maka dengan segera umat merapatkan barisan melawan dan menghentikan pergerakan kaum kiri (hingga kini).
Sementara dimasa kekinian, yang radikal mulai menakuti-nakutinya dengan kebangkitan liberalisme, kapitalisme, dan lain sebagainya. Umat islam digambarkan akan dipinggirkan, segala bentuk kebebasan akan diumbar, masa depan anak-anak akan terancam oleh pergaulan bebas, dan lain sebagainya.
Yang liberal pun juga tak jauh berbeda, mereka juga sama-sama menjual ketakutan pula. Menakut-nakuti umat dengan ancaman meningkatnya radikalislme, perpecahan, sikap intoleran yang semakin menguat, serta ormas-ormas akan semakin anarkis dan merajalela dengan aneka bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Siapa yang akan menang?
Entahlah…
Yang jelas kalah dan rugi adalah umat islam itu sendiri, karena mau tidak mau akan menyeret dua aliran islam terbesar yang ada di Indonesia. NU dan Muhammadiyah, dua percabangan islam yang memiliki pengaruh yang sama besar, yang kebetulan pula punya pemahaman yang berbeda dalam menterjemahkan ajaran islam.  
Muhammadiyah yang cenderung ingin memurnikan ajaran islam tentu akan lebih condong pada pemahaman yang menolak liberalism dan kapitalisme. Pemahaman yang menginginkan kembali kejayaan islam, dengan cara menjalankan syariat islam tanpa mencampur-adukan dengan adat kebiasaan. Meski tidak sampai menjadi radikal, tapi paling tidak akan bersikap berseberangan dengan aliran liberal, dan lebih memilih berpihak pada paham-paham yang mendukung pemurnian islam ketimbang sebaliknya.
Sementara NU, yang lebih fleksibel dalam menerapkan ajaran islam akan lebih berpihak pada golongan liberal. Bisa dilihat dari beberapa pelopor gerakan ini justru banyak muncul dari kader-kader NU, para kader yang menghendaki islam lebih moderat, wajah islam yang berpandangan lebih terbuka dan tidak saklek dalam hal syariat.
Jika tiap hari dan setiap saat jualan ketakutan ini terus muncul dan dimunculkan oleh kedua pihak, maka ujungnya akan semakin meruncing. Gesekan bukan berada pada mereka yang diatas, bukan pada mereka yang hanya duduk manis dan hanya bertugas memberikan arahan yang bertujuan mencari pengaruh dan memperluas ideologinya.
Akan tetapi gesekan yang tiap hari diperuncing suatu saat akan menajam di akar rumput, yaitu masa yang sebenar-benarnya. Masa yang nyata dari kedua kubu ini, suatu saat akan berhadapan dilapangan (dunia nyata yang sebenarnya), bukan hanya saling olok di dunia maya atau media sosial. Masing-masing ormas akan saling meniadakan, yang satu akan menolak acara dan kegiatan ormas yang lain, begitu juga sebaliknya. Dan lebih buruk lagi jika sampai jatuh korban disalah satu pihak, maka kerusakan yang akan terjadi juga akan semakin membesar.
Siapa yang akan tertawa?
Entahlah…
Yang jelas masalah paham radikal yang katanya mulai mengancam, kuncinya adalah ketegasan sikap aparat pemerintah yang berwenang. Kalau memang paham dan ideologinya bertentangan dengan dasar Negara, harusnya ormas-ormas ini dimasukkan kedalam organisasi terlarang layaknya paham komunisme. Sehingga kegiatannya pun harus dilarang dan tidak diberi ijin, tanpa harus terjadi pembubaran paksa oleh ormas lainnya yang rawan terjadi gesekan di masa akar rumput.
Sedangkan aksi anarkis ormas yang sering melakukan penutupan paksa tempat hiburan malam dan warung-warung makan saat bulan ramadhan harusnya menjadi tugas dan tanggungjawab aparat keamanan untuk menindaknya. Jangan lagi mebiarkan ormas anarkis ini bertindak semaunya, sehingga merusak citra umat islam yang lain, yang hanya akan memunculkan ormas tandingan yang akan saling berhadapan, yang pada akhirnya menjadi bahan pembenaran jualan ketakutan dari kaum liberal.