Kamis, 08 Maret 2018

Hoax Karena Media yang Tak Lagi Berimbang

Pemerintahan bukanlah sebuah institusi yang suci tanpa cela, dan presiden juga bukan manusia sempurna. Ditiap-tiap kebijakan yang diambil pastilah ada kekurangan Dan kelebihannya, itu suatu yang harusnya menjadi sebuah kewajaran.

Dan media masa yang katanya adalah salah satu pilar demokrasi, harusnya bisa menjadi alat kontrol dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan. Tidak hanya memoles keberhasilan pemerintahan, tapi yang juga tak kalah penting adalah mengkritisi dan mewartakan apa saja kekurangan-kekurangan dari kebijakan tersebut.

Jadi, ketika hampir semua media masa besar hanya memuat berita yang hampir sama, tentang keberhasilan ini/itu, gunting pita sana/sini, foto-foto selfie aneka gaya terkini. Tentu hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, benarkah semua itu? Benarkah janji-janji yang dibuat pemerintah  sudah terpenuhi? Benarkah ribuan lapangan kerja telah berhasil dibuka? Benarkah dolar bisa turun? Benarkah bbm dan listrik tidak naik? Dan lain sebagainya.

Disaat pertanyaan-pertanyaan seperti  itu tidak terjawab, karena media masa tidak pernah memberitakannya, maka yang ada adalah gosip. Untuk mengisi celah kosong yang ditinggalkan oleh media masa,  masyarakat akhirnya mencari alternatif pemberitaan. Dengan dukungan serta perkembangan teknologi, seperti internet dan medsos pada akhirnya masyarakat beralih kesana, untuk mencari maupun bertukar informasi. Sehingga rumors, gosip, serta pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab di media arus utama, akhirnya menjadi bola liar.

Karena tidak berimbangnya media masa dalam pemberitaan, maka bola liar menjadi peluang untuk dimanfaatkan, baik oleh oposisi ataupun pro pemerintah. Oposisi bisa saja dengan mudah membuat berita yang palsu atau hoax, karena ada kebutuhan akan kebenaran informasi diluar media arus utama yang tidak lagi dipercaya.

Sementara pro pemerintah juga sama saja, ada yang mengistilahkannya dengan hoax membangun. Menyebar foto-foto palsu tentang jalur jalan baru, atau jalur kereta baru dan lain sebagainya, karena percaya diri bahwa media masa tidak akan mengkritisinya.

Dengan tidak berimbangnya pemberitaan, bukan hanya berhenti pada konten-konten hoax saja, tapi lebih jauh telah mengiris dan mempertajam dua kubu yang saling pro - kontra ini. Yang kontra yakin ada yang kurang dari jalannya kebijakan pemerintahan,  sementara yang pro merasa diatas angin karena tidak ada media yang mau memberitakan kegagalan kebijakan pemerintah.

Padahal mengkritisi pemerintah bukan berarti ingin menjatuhkan wibawa atau kebijakan pemerintahan, namun untuk menjaga agar arah pemerintahan yang dijalankan tidak melenceng terlalu jauh. Jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sampai melenceng, yang paling dirugikan adalah rakyatnya. Dan yang perlu dicatat, ketika media mengkritisi jalannya pemerintahan, tidak lantas membuat pemerintahan menjadi gaduh, atau pemerintahan akan berjalan kacau, dan lain sebagainya.

Ambil contoh ketika pemerintahan SBY berkuasa, banyak media yang sering mengkritisi kebijakan-kebijakan dari presiden. Bahkan di stasiun televisi Metro TV ada acara sentilan-sentilun yang khusus menyindir dan memparodikan kebijakan-kebijakan SBY. Dan itu tidak lantas membuat pemerintahan SBY mandek, bahkan banyak pencapaian yang berhasil ditorehkan oleh SBY.

Namun sayang, kalau menengok pemerintahan yang sekarang ini peran media masa dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah terasa sangat kurang. Kalau anda membuka portal berita dari media masa besar isinya hampir sama dan senada, itu lagi, itu lagi....

Selasa, 30 Januari 2018

Penutupan Jalan, Tanah Abang vs Makam Bung Karno

Makan Bung Karno di Blitar

Nun jauh di sana, ruas jalan di depan makam bung Karno, sudah beberapa bulan lalu mulai di tutup dan bongkar. Jalan Ir. Sukarno di tutup total sepanjang kurang lebih 1 km, mulai dari hotel Mandala hingga depan kantor kelurahan Sentul. Jalan itu kini diganti dengan paving blok, dan rencananya akan diberi taman, sehingga kendaraan nantinya total tidak bisa melewati ruas jalan itu lagi, hanya pejalan kaki dan mungkin sepeda onthel saja yang bisa lewat.

Bukan hitungan hari, tapi penutupan dan pembongkaran jalan ini sudah berlangsung beberapa bulan yang lalu, dan ditargetkan akhir tahun 2017 atau awal tahun 2018, program itu selesai. Namun sejauh ini tak ada satu pun pakar dan ahli mempertanyakan pelanggaran undang-undang tentang penutupan jalan, seperti apa yang terjadi pada penataan tanah abang. 

Bila sama-sama mengacu pada pendapat pengamat transportasi Djoko Sutiwarno seperti dimuat Kompas ["Di dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan terdapat ketentuan pidana yang sangat tegas, yakni 18 bulan penjara atau denda Rp 1,5 miliar bagi setiap orang yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan trotoar," jelas Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (23/12/2017).
Djoko juga menjelaskan, orang yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan bisa dikenakan denda Rp 250.000 sesuai dengan Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) Pasal 275 ayat (1) jo pasal 28 ayat (2). ].

Maka harusnya apa yang dilakukan oleh pemerintahan kota Blitar juga melanggarnya, dan hingga pengerjaan proyek hampir rampung, tak banyak media masa yang memuat dan tak ada pengamat dan ahli yang mempermasalahkannya.

Tanah Abang

Sementara itu ketika tanah abang ditata oleh gubernur baru, dengan cara menutup sebagian jalan, publik dan media masa langsung dibikin heboh. Para pengamat, pakar dan ahli langsung tampil ke muka, dan kata-katanya langsung menjadi kutipan puluhan media-media masa besar bersekala nasional.

Dan dalam hitungan hari, para pakar dan ahli tentang transportasi sudah bisa menyimpulkan, bahwa apa yang dilakukan oleh gubernur baru, jelas-jelas melanggar aturan undang- undang tentang fungsi jalan raya. Begitu pula media masa, tanpa menunggu masa percobaan berlalu, ramai-ramai langsung memvonis bahwa kebijakan penutupan tanah abang merugikan banyak pihak.

Penyelesaian masalah tanah abang yang digagas gubernur baru, yang tengah mencoba mencari solusi jalan tengah antara pedagang dan pejalan, kelihatannya bakal kandas. Penolakan itu, kelihatannya bukan lagi tentang ide penyelesaian dan cara mencari jalan terbaik membangun kota, tapi kini lebih pada siapa yang membawa ide-idenya.

Mengadili ide bukan karena muatan dan konsep-konsepnya tapi yang diadili adalah siapa dulu pembawa idenya.

Jurnalisme, mengabarkan ataukah mengaburkan kebenaran?

http://jatim.tribunnews.com/2017/10/19/dprd-kota-blitar-tidak-dilibatkan-soal-proyek-city-walk-di-makam-bung-karno?page=all

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/12/23/17243121/pengamat-transportasi-nilai-penataan-pkl-tanah-abang-melanggar-hukum

Minggu, 28 Januari 2018

Jurnalisme, Mengabarkan ataukah Mengaburkan Kebenaran?

Literasi, katanya orang-orang pinter adalah salah satu faktor yang bisa memajukan suatu bangsa. Mampu memberi dan mengkayakan  wawasan masyarakat, hingga pada akhirnya bisa membuka cara pandang  dan merubah pola berpikirnya.

Dan masih katanya pula bahwa jurnalisme  atau media pemberitaan adalah salah satu pilar dalam berdemokrasi, yang katanya bisa menjaga arah pemerintahan supaya lurus dan benar. Karena jurnalisme dengan segala fasilitasnya (kode etik dan perlindungan hukum), harusnya lebih mampu menjangkau sisi-sisi lain dari sebuah kabar dan peristiwa.

Dua tugas berat ini adalah hal yang harusnya bisa dilakukan sekaligus seorang jurnalis, mampu memberikan bahan bacaan (literasi) yang murah dan meriah melalui aneka media yang ada (koran, majalah, televisi hingga internet). Namun juga mampu mencerahkan masyarakat dengan mengabarkan berita yang benar, termasuk didalamnya tidak mengabarkan “hoax” yang membangun.

Tapi melihat acara Mata Najwa beberapa waktu lalu, seolah tidak bisa lagi melihat sosok seorang jurnalis sejati yang ingin mencerahkan dengan mengabarkan sebuah kebenaran, namun lebih melihat sebagai seorang jurnalis yang sengaja ingin mengaburkan kebenaran.

Sudut yang diambil adalah ingin menggiring opininya sendiri atau bisa dibilang seorang Najwa lebih terlihat sebagai seorang spin doctor ketimbang seorang jurnalis, yang dengan sengaja membelokkan arah pembicaraan nara sumber sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa berdasarkan data-data yang ada serta dengan jelas mengabaikan semua uraian nara sumbernya.

Sebagai pembanding, jika seorang Najwa adalah jurnalis sejati, beranikah dia menghadirkan gubernur sebelumnya dan membuat pertanyaan-pertanyaan tajam mengenai lahan Sumber Waras atau pertanyaan-pertanyaan menohok tentang reklamasi dan penerbitan ijinnya?.

20 tahun setelah reformasi, jurnalisme kini terasa seperti kembali ke zaman sebelumnya. Propaganda oleh pemerintahan waktu itu dengan memberi materi berita yang tunggal dan seragam, yang dikeluarkan oleh menteri penerangannya. Propaganda atau framing berita kalau bahasa zaman now, kini sangat terasa seperti kembali ke zaman sebelum reformasi.

Rakyat kembali di nina bobok kan oleh pemberitaan dari satu peresmian ke peresmian berikutnya, bulan ini meresmikan ini pakai sepatu yang itu, bulan depan meresmikan itu pakai baju ini. Bagi remaja generasi tahun 80-90 an itulah berita yang biasa dilihat di koran-koran dan televisi waktu itu. Mirip zaman dahulu lagi, media berlomba memberitakan yang pertama untuk berita yang sama, ketimbang  berlomba mencari sudut yang berbeda dari tema yang sama.

Seperti tol yang baru diresmikan, yang hanya sepanjang 14,5 km, yang kalau ditempuh hanya butuh 10 menit, tidak diulas dengan cerdas.  Pajak rakyat mau dibawa kemana dan utang negara akan bagaimana, jarang ada berita yang mengulasnya hingga tuntas.  Literasi dan pencerahan wawasan yang murah bagi rakyat mungkin hanya slogan basi. Lagi-lagi pola pembodohan terhadap kelas bawah terjadi lagi, lebih banyak jurnalis yang mengaburkan kebenaran dibanding mengabarkan kebenaran…..