Senin, 30 Oktober 2017

Janji Palsu Menolak Pulau Palsu?



 Samar-samar terdengar kabar fals (bukan Iwan yang kini bersura merdu), konon katanya ada pertemuan antara pemilik pulau palsu dengan calon gubernur baru (saat itu). Konon katanya pula, pertemuan itu, berisi bisik-bisik tetangga tentang penyelamatan dan pengamanan jalur menuju pulau palsu.

Tak berlebihan memang, mengingat proyek pulau palsu adalah proyek yang "luar biasah". Setelah mangkrak hampir 29 tahun sejak jaman orde baru, dengan ajaibnya bak sulap ala pak Tarno, dalam 3-4 tahun pembangunan pulau palsu ini sudah mendekati 80 %.

Dan harap dimaklumi juga karena yang punya gawe ini ibaratnya masih sebangsa dengan Night Fury, Terrible Terror, Gronckle, Monstrous Nightmare, Deadly Nadder, Hideous Zippleback, Boneknapper, Seadragonus Giganticus Maximus dan Bewilderbeast yang begitu perkasa.

Yang kekayaan per-orangnya aja bisa mencukupi kebutuhan dasar sepertiga penduduk negeri ini (catat: wajar kepentingan mereka lebih diutamakan). Sementara sebagai EO-nya adalah orang yang punya kuasa dan serba tahu segala urusan di jaman now, segala urusan tak akan bisa terjadi tanpa sepengetahuan dan ijin beliaunya.

Jadi berat rasanya bagi gubernur baru untuk bisa memenuhi janjinya menolak undangan hajatan di pulau palsu itu. Tangan-tangan perkasa dibalik pulau palsu jelas tidak akan tinggal diam, akan selalu cawe-cawe agar proyek ini akan terus berjalan.

Pertemuan-pertemuan seperti itu di hari belakangan ini semakin terlihat wajar saja, politik bukan lagi tentang suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat hanyalah alat dan jalan untuk menggapai puncak kepemimpinan melalui hajatan yang disebut dengan pesta demokrasi.

Politik menurut mereka adalah cair, tidak ada lawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Wajar juga bila saat ini yang banyak terjadi adalah politik prabayar atau politik ijon, karena tingginya biaya pencalonan untuk menjadi calon pemimpin. Dimodali terlebih dahulu oleh pemodal besar, namun kebijakan dan arah pemerintahan disesuaikan dengan kebutuhan pemodal.

Sementara bagi rakyat sendiri politik itu kotor, politik itu kejam dan tidak berperasaan, janji politik yang diingkari itu sudah biasa. Contohnya ada dimana-mana, tidak presiden, tidak gubernur, tidak bupati bahkan hingga lurah pun juga sama saja. Rakyat hanya dapat remah-remah kebijakan, hanya satu dua yang akan terpenuhi janji surga yang pernah dihembuskan pada mereka.

Dan seperti biasa setelah hajatan demokrasi bernama pemilu, yang keras, yang lembut, yang kejam, yang kalem, dan lain sebagainya, rakyat pemilih dengan perlahan namun pasti dilupakan. Hajatan demokrasi ibarat kemarau setahun yang diguyur hujan sehari, dengan cepat hilang tak berbekas. Nasib mereka tak akan jauh bedanya dengan setahun, lima tahun atau sepuluh tahun sebelumnya, masih sibuk ngurusi hari ini makan apa, bukan hari ini enaknya makan dimana....

Radikal dan Liberal Menjual Ketakutan, Siapa yang Menang?


indonesiana-Idologi.jpg




























Perasaan takut itu mungkin memang lebih mengerikan dari obyek yang ditakuti itu sendiri. Sebelum benar-benar melihat hantunya, orang sudah merasakan ngeri dengan suasananya yang mencekam, seperti suara yang terdengar, aroma yang tercium, bulu kuduk yang berdiri dan lain sebagainya.
Dan perasaan takut itu dimanfaatkan dengan baik sebagai strategi pemasaran oleh para sales marketing. Sebut saja iklan pelangsing badan, dengan menjual ketakutan akan aneka penyakit yang muncul akibat kegemukan. Atau iklan asuransi yang mengambarkan betapa sulitnya hidup, jika tidak mempunyai asuransi sebagai jaminan pendidikan, kesehatan, dan kematian.
Jika mengikuti media sosial akhir-akhir ini, maka tak mengherankan bila para pengusung dan penjual ideologi juga ikut-ikutan memakai strateginya. Mereka saling menjual dan mepropagandakan ketakutan, demi berebut pangsa pasar terbesar dinegeri ini, yaitu umat islam.

Sebagai mayoritas dengan jumlah yang besar, umat islam memang menjadi pangsa pasar yang mengiurkan dan potensial  untuk berjualan aneka produk. Baik produk nyata berupa barang konsumsi maupun produk tak nyata berupa aneka bentuk paham dan ideologi.
Didukung dengan banyaknya aliran dan percabangan dalam islam memang sangat mudah untuk membuatnya terbelah menjadi beberapa kubu.
Dari masa ke masa umat islam memang menjadi pasar yang potensial, seperti pada masa pemerintahan Orba, umat islam dimanfaatkan dengan baik untuk menjadi unjung tombak menghadapi ideologi kiri. Dengan prolog pembunuhan para ulama, maka dengan segera umat merapatkan barisan melawan dan menghentikan pergerakan kaum kiri (hingga kini).
Sementara dimasa kekinian, yang radikal mulai menakuti-nakutinya dengan kebangkitan liberalisme, kapitalisme, dan lain sebagainya. Umat islam digambarkan akan dipinggirkan, segala bentuk kebebasan akan diumbar, masa depan anak-anak akan terancam oleh pergaulan bebas, dan lain sebagainya.
Yang liberal pun juga tak jauh berbeda, mereka juga sama-sama menjual ketakutan pula. Menakut-nakuti umat dengan ancaman meningkatnya radikalislme, perpecahan, sikap intoleran yang semakin menguat, serta ormas-ormas akan semakin anarkis dan merajalela dengan aneka bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Siapa yang akan menang?
Entahlah…
Yang jelas kalah dan rugi adalah umat islam itu sendiri, karena mau tidak mau akan menyeret dua aliran islam terbesar yang ada di Indonesia. NU dan Muhammadiyah, dua percabangan islam yang memiliki pengaruh yang sama besar, yang kebetulan pula punya pemahaman yang berbeda dalam menterjemahkan ajaran islam.  
Muhammadiyah yang cenderung ingin memurnikan ajaran islam tentu akan lebih condong pada pemahaman yang menolak liberalism dan kapitalisme. Pemahaman yang menginginkan kembali kejayaan islam, dengan cara menjalankan syariat islam tanpa mencampur-adukan dengan adat kebiasaan. Meski tidak sampai menjadi radikal, tapi paling tidak akan bersikap berseberangan dengan aliran liberal, dan lebih memilih berpihak pada paham-paham yang mendukung pemurnian islam ketimbang sebaliknya.
Sementara NU, yang lebih fleksibel dalam menerapkan ajaran islam akan lebih berpihak pada golongan liberal. Bisa dilihat dari beberapa pelopor gerakan ini justru banyak muncul dari kader-kader NU, para kader yang menghendaki islam lebih moderat, wajah islam yang berpandangan lebih terbuka dan tidak saklek dalam hal syariat.
Jika tiap hari dan setiap saat jualan ketakutan ini terus muncul dan dimunculkan oleh kedua pihak, maka ujungnya akan semakin meruncing. Gesekan bukan berada pada mereka yang diatas, bukan pada mereka yang hanya duduk manis dan hanya bertugas memberikan arahan yang bertujuan mencari pengaruh dan memperluas ideologinya.
Akan tetapi gesekan yang tiap hari diperuncing suatu saat akan menajam di akar rumput, yaitu masa yang sebenar-benarnya. Masa yang nyata dari kedua kubu ini, suatu saat akan berhadapan dilapangan (dunia nyata yang sebenarnya), bukan hanya saling olok di dunia maya atau media sosial. Masing-masing ormas akan saling meniadakan, yang satu akan menolak acara dan kegiatan ormas yang lain, begitu juga sebaliknya. Dan lebih buruk lagi jika sampai jatuh korban disalah satu pihak, maka kerusakan yang akan terjadi juga akan semakin membesar.
Siapa yang akan tertawa?
Entahlah…
Yang jelas masalah paham radikal yang katanya mulai mengancam, kuncinya adalah ketegasan sikap aparat pemerintah yang berwenang. Kalau memang paham dan ideologinya bertentangan dengan dasar Negara, harusnya ormas-ormas ini dimasukkan kedalam organisasi terlarang layaknya paham komunisme. Sehingga kegiatannya pun harus dilarang dan tidak diberi ijin, tanpa harus terjadi pembubaran paksa oleh ormas lainnya yang rawan terjadi gesekan di masa akar rumput.
Sedangkan aksi anarkis ormas yang sering melakukan penutupan paksa tempat hiburan malam dan warung-warung makan saat bulan ramadhan harusnya menjadi tugas dan tanggungjawab aparat keamanan untuk menindaknya. Jangan lagi mebiarkan ormas anarkis ini bertindak semaunya, sehingga merusak citra umat islam yang lain, yang hanya akan memunculkan ormas tandingan yang akan saling berhadapan, yang pada akhirnya menjadi bahan pembenaran jualan ketakutan dari kaum liberal.


Jumat, 21 April 2017

100 Hari Pemerintahan Anies - Sandi

Dalam satu wawancara pak Einstein pernah mengatakan, "Imajinasi itu lebih penting dari ilmu pengetahuan". Jadi tak ada salahnya jika sedikit berandai-andai dan menggunakan imajinasi, apa yang kira-kira akan terjadi pada 100 hari pemerintahan Anies - Sandi jika menang dalam pilkada kali ini.

Tentang Jakarta Bersyariah

Isu yang santer berhembus (sengaja dihembuskan) adalah Jakarta akan menjadi kota yang ditata dengan hukum syariah Islam, benarkah bisa semudah itu menjadikan suatu daerah, apalagi Ibu Kota Negara menjadi bersyariah?

Jelas tidak semudah menggoreng tahu bulat yang bisa dimasak dadakan, pasalnya untuk membuat hukum syariah agar bisa dijalankan, minimal harus ada perda yang mendukungnya. Dan seperti yang kita ketahui bahwa perda itu harus disahkan oleh parlemen, dan seperti kita ketahui pula bahwa Anies-Sandi di parlemen hanya didukung oleh Gerindra (15)  dan PKS(11), sementara lawan politiknya yang siap menghadang PDI-P (28),  Hanura (10), PPP (10), Golkar (9), PKB (6) dan NasDem (5). 

Meski ada kemungkinan ditambah PAN (2) dan Demokrat (10), rasanya akan sulit bagi Anies - Sandi untuk meloloskan perda syariah. Maka, jika sampai perda syariah bisa lolos maka tak hanya Anies - Sandi yang patut untuk ditunjuk hidungnya, tapi seharusnya jari-jari telunjuk juga layak ditujukan ke hidung para aggota parlemen.

Tentang FPI dan Ormas Radikal (Intoleran)

FPI dan semua ormas adalah organisasi yang nyawa (baca: ijin) nya berasal dari Kemendagri, sudah seharusnya hidup dan matinya juga berada ditangan Kemendagri. Segala tentang syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh semua ormas adalah menjadi tanggugjawab Kemendagri. 

Sementara aksi anarkis, pengacau keamanan dan mengganggu ketertiban masyarakat adalah menjadi kewenangan dari pihak aparat keamanan untuk menindaknya. 

Jadi jika ada ormas yang anti dengan dasar negara, ada ormas yang melakukan aksi-aksi radikal, menganggu keamanan dan meresahkan masyarakat, harusnya kedua lembaga tersebut yang bertanggungjawab terlebih dahulu untuk mengambil tindakan, terlepas siapapun gubernurnya.

Tentang Media Masa

Media masa saat ini hampir 60% lebih boleh dikata sudah menjadi "plat merah", lebih banyak hanya menampilkan sisi positif dari pemerintah, sementara berita-berita negatif cenderung diendapkan dan diperhalus konten beritanya.

Bagi petahana, yang masih satu paket dengan pemerintah saat ini, sangat diuntungkan oleh media masa "plat merah" ini. Dukungan berupa pemberitaan positif sangat masif dinaik cetakkan, sementara berita negatif sangat sedikit diulas dan sebisa mungkin malah diredam.

Akan berbeda nasib dengan Anies-Sandi jika jadi gubernur, yang memang tidak sepaket dengan pemerintah, bahkan pengusungnya adalah lawan politik pemerintah di 2014 kemarin. Maka media akan kembali menjadi media "plat hitam", akan banyak kebijakan dan jalannya pemerintahan Anies yang bakal dikritisi, diobok2 dan dicari celahnya.

Banjir tidak lagi diberitakan hanya sekedar genangan, janji-janji kampanye Anies akan diungkit-ungkit, borok-borok Anies semakin banyak yang dikorek-korek lagi.

Buzzer dan Pendukung

Pendukung dan buzzer Anies ini terbentuknya belum terlalu lama, berbarengan dengan pencalonan Anies maju ke pilkada. Dan kalau melihat beberapa hasil survey yang telah dipublikasikan, maka perolehan dukungannya pun juga tidak langsung melesat kepuncak, ada beberapa tahapan yang semakin lama terlihat mengalami peningkatan.

Jika dilihat dari tren tersebut, maka pendukung Anies bukanlah model pendukung secara membabi buta, yang memuja Anies seperti sosok idola tanpa cela. Dukungan itu perlahan didapatkan karena beberapa program-program anies yang memang cenderung lebih bisa diterima oleh masyarakat Jakarta, terutama program membumi yang menyentuh kelas bawah (menolak reklamasi, menolak betonisasi, menolak penggusuran, menolak relokasi, dll).

Bisa dikata belum teruji keloyalannya, selama Anies memenuhi janji atas program-program kampanyenya, maka selama itu pula masih terus memperoleh dukungan. Namun apabila ingkar janji, pendukung Anies akan menjadi pengkritik terkeras saat Anies - Sandi benar-benar berkuasa.

Sasaran Tembak

Melihat beberapa kemungkinan diatas, maka Anies - Sandi adalah sasaran tembak yang sangat terbuka. Terlebih bukan sebagai anak emas yang diberi baju kebal peluru, maka serangan bertubi-tubi akan memdarat telak ditubuh mereka. 

Dengan begitu, tak akan mudah bagi Anies menjalankan pemerintahannya dengan seenak udelnya sendiri. Moncong senjata dari lawan, baik media masa, buzzer dan bahkan pendukungnya sendiri siap memberondongnya dari segala arah dan dengan aneka peluru.

Minggu, 19 Februari 2017

Tips Untuk Para Golputers Galau

Telah dua periode pilpres (2009 dan 2014) memilih untuk tidak memilih alias bergolput ria, galau menentukan pilihan seperti kebanyakan golputers lain. Khawatir salah dalam menentukan pilihan, serta takut dikibuli oleh janji-janji semanis madu para calon pemimpin.

Tapi melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini rasanya kok terlalu sayang untuk menjadi golputers lagi, karena apa yang terjadi belakangan ini mengingatkan saya pada suana yang mirip-mirip dengan rezim di masa lalu.

Sebagai orang yang tumbuh di rezim tersebut merasakan sendiri bagaimana pemerintahan di jaman itu dijalankan. Pada waktu itu rakyat sedikit mungkin diberi akses pada pemberitaan yang benar/berimbang (dibodohi “pakai” berita media masa), karena berita-berita yang tayang pada masa itu dibungkus sedemikian rupa (framing bahasa sekarang), sehingga rakyat hanya tahu berita persis seperti apa yang pemerintah mau. Banyak hal yang sengaja ditutup-tutupi, dengan dalih demi keamanan nasional atau kalau memakai bahasa sekarang agar tidak terjadi kegaduhan politik.

Berita kebobrokan pemerintah hanya bisa didengar melalui bisik-bisik tetangga tanpa data dan fakta, kalau saat ini mungkin sudah termasuk dalam kategori berita HOAX, dan bisa dikenai pasal penyebar hoax. Sementara media masa yang kritis pada pemerintah banyak yang dibikin sekarat terlebih dahulu, atau dibredel kalau jaman dahulu menyebutnya (mirip saat ini yang tengah dalam proses pemberlakuan barcode untuk memverifikasi media).

Dan setelah merenung selama tujuh purnama, mandi di tujuh sumber air berbeda dengan ditaburi bunga tujuh rupa, maka inilah beberapa tips yang bisa saya bagikan:  

Pertama, Lihat seberapa dominan orang-orang yang berada dibelakangnya (baca bandar), karena mereka itulah yang nanti menjadi sebenar-benarnya penentu (mutlak) kebijakannya. Terkecuali jika dia seorang “pemilik partai yang bersuara mayoritas, seperti Suharto (32 tahun); Megawati (3 tahum) dan SBY (10 tahun), mereka akan punya setengah kekuatan menentukan arah pemerintahan (berbagi kekuasaan dengan para bandar)

Kedua, lihat seberapa banyak media pendukungnya, karena disinilah awal dibelokan dan dipelintirnya berita, jelek bisa dipoles menjadi agak bagus serta bagus akan menjadi terlihat hebat luar biasa. Banjir akan terlihat sebagai genangan, gusur bisa berarti relokasi dan reklamasi terdengar seperti investasi. Mirip-mirip rezim dimasa lalu yang mengontrol berita-berita mana yang boleh disiarkan mana yang tidak boleh disiarkan, hanya saja dipoles lebih halus dari segi cara maupun segi bahasanya.

Ketiga, lihat seberapa banyak dan kuat buzzers-nya, karena mereka ini akan menyerang siapapun  yang mempunyai pikiran yang berbeda dengan kebijakan pemerintahan, pasukan yang tidak ingin berbagi ruang untuk perbedaan bersuara, phobia terhadap suara-suara sumbang. Mirip-mirip juga dengan rezim masa lalu, kalau dahulu buzzersnya berbentuk kumpulan masa dalam wujud nyata, berbentuk ormas-ormas pelindung perintah, yang akan menghajar balik tiap demo-demo yang menyuarakan penentangan terhadap kebijakan pemerintah.  

Keempat, jadikan program para capres, cagub, cawakot, dan segala ca-ca lain sebagai pertimbangan terakhir. Karena biasanya apapun programnya hanya beberapa saja yang akan benar-benar dijalankan saat benar-benar terpilih, kalaupun akhirnya program dipenuhi anggap saja sebagai  bonus tambahan.

Dengan melihat dan mempertimbangkan 4 hal diatas paling tidak saya bisa meminimalkan resiko kesalahan dalam memilih. Kalaupun jika terjadi kesalahan (lagi) dalam menentukan pilihan, paling tidak saya masih bisa mengkritisi, menyinyiri pilihan saya tanpa rasa takut akan bullying dari para buzzers-nya, dan terhidar dari jeratan aneka pasal berlapis yang siap menghadang.

Dan yang lebih penting lagi buat saya adalah hak rakyat untuk memperoleh pemberitaan yang berimbang (20 tahun pasca reformasi masak rakyat/tuan akan kembali dibodhi “pakai” media masa). Calon yang tidak didukung oleh banyak media masa, maka secara otomatis akan semakin banyak media yang bersikap netral. Akan banyak media yang menayangkan berita tanpa pemelintiran ataupun pembelokan, karena media-media tersebut jelas tidak dibebani oleh hutang-piutang dalam hal dukung-mendukung

…..Golputer tobat…..
Sumber gambar:
http://aceh.tribunnews.com/2017/02/17/data-desk-pilkada-lhokseumae-golput-mencapai-51-ribu-orang

Kamis, 26 Januari 2017

Kisah Stempel, Hoax dan Rocky Gerung




Kisah ini berhubungan erat dengan stempel yang digunakan sebagai penanda penyortiran barang atau bahkan mungkin juga digunakan pada orang.

Untuk ilustrasi, ku awali kisah ini dari gudang penyortiran sayur-mayur dan buah-buahan. Sebagai gudang sayur dan buah yang menjadi satu, terkadang ada saja buah dan sayur yang salah tempat. Karena berwarna orange terkadang jeruk di stempel dan masuk kedalam golongan  wortel, atau karena bentuknya bulat terkadang tomat di stempel dan masuk kedalam golongan jeruk, dan lain sebagainya.

Entah karena kurang teliti atau malas berpikir atau justru memang disengaja.

Dan seperti itulah yang tengah terjadi pada seorang Rocky Gerung, karena beberapa pernyataanya terutama tentang hoax, telah membuat banyak orang (awam hingga ahli) menyetempel atau mengecapnya sebagai orang pro-hoax.

Dimana saat ini pro-hoax  adalah ditujukan pada golongan yang diangap sebagai aliran yang terlalu kanan dan radikal. Golongan yang katanya sering dinilai sebagai ahli bikin berita hoax dan menyebar segala bentuk hoax beserta turunannya.

Maka dari itu, di hari-hari belakangan  ini  Rocky Gerung dimasukkan/distempel/dicap sebagai pengikut mereka, bahkan yang lebih sadis lagi di olok-olok sebagai filsuf lokal yang gagal memahami ajaran filsuf Zizek yang akhirnya menjadi pengikut Rizieq. 

Tapi benarkah seorang Rocky Gerung seperti itu? Coba kita cek beberapa peryataannya.

Yang terkenal adalah ini “Pembuat hoax terbaik itu  adalah penguasa…….”, dan dalam sebuah acara di televisi beliau sendiri sudah memberikan contohnya. Namun saya ingin menterjemahkan dan membuat contoh sendiri dari ucapan tersebut.

Misalnya begini, ketika seorang Bedjo, sepulang menggurus SIM membuat sebuah status, “ Mantap brow, nambah 200 rebu ngurus SIM sehari jadi, tanpa tes lagi!!!! ”, hanya sebuah status tanpa disertai bukti apapun. Sebuah status yang sudah menjadi rahasia umum dan sudah biasa dibicarakan dimana-mana, warung kopi, angkringan bahkan caffe dan restoran.

Apakah ketika status tanpa data dan bukti tersebut dibagikan oleh orang banyak dan kemudian viral di dunia maya, akan menjadikan Bedjo sebagai tersangka pembuat hoax? Dan penyebar status hoax? Dan oleh karenanya perbuatan ini Bedjo bisa dikenai pasal (karet) penyebaran hoax?

Sementara itu pemerintah dengan tegas menyangkal apa yang menjadi status Bedjo diatas, dengan mengeluarkan data-data yang ada, bahwa tidak ada pungutan liar pengurusan SIM, tidak ada laporan dan bukti yang masuk, tidak ada kerugian negara akibat praktek pungli tersebut.  

Dan apakah lantas secara otomatis pernyataan pemerintah tersebut adalah sebuah fakta? Sebuah kebenaran yang harus diamini seluruh rakyat Indonesia tanpa perlu dikritisi? Hanya karena diperkuat oleh data-data yang ada?

Dititik ini, Bedjo akan dianggap sebagai penyebar hoax sementara pernyataan pemerintah adalah sebuah fakta dengan data yang tidak terbantahkan.

Padahal apabila bila dilakukan sebuah penelitian (kalau mau), ambilah secara acak 100 pengendara yang sedang lewat dijalan raya, kemudian adakan tes ujian tulis dan praktek mengemudi yang sesuai standar untuk mendapatkan SIM. Akankah 100 pengendara tersebut lulus? Akankah para remaja 17 tahun banyak yang lolos? Akankah para bapak/ibu banyak yang lolos? Akankah para selebriti banyak yang lolos?

Sampai disini, kisah diatas akan menjadi terbalik, dan apa yang dinyatakan oleh Rocky Gerung menjadi suatu pembenaran, bahwa pembuat hoax terbaik adalah penguasa.

Lantas pemikiran Rocky Gerung agar tidak bersikap berlebihan terhadap masalah hoax ini, apakah harus distempel/dicap sebagai orang yang beraliran ke-kanan-kanan-an? Tidak bisakah pemikirannya dianggap sebagai bentuk kekhawatiran terhadap pemberangusan kebebasan berbicara? Pemberangusan kebebasan perpendapat? Pengkhianatan terhadap nilai-nilai dalam berdemokrasi? Berjuang agar pelangi negeri tetap warna-warni?.

Sayangnya, “Permainan” stempel dan cap ini memang permainan abadi, ada disepanjang jaman, lintas generasi dan tak lekang oleh waktu. Ditiap penguasa, maka permaian ini akan diulang lagi, diubah sana-sini, dipoles kanan-kiri, maka perubahan wujudnya tak lagi dikenali.

Teringat pada cerita para pendahulu, pada waktu lalu penggiat, penikmat, pekerja seni akan di stempel/di cap kiri, dibuang, diasingkan dan dicemo’oh, oleh tangan-tangan yang berseragam jelas.

Dan kini diulang lagi, dimainkan lagi, hanya saja sekarang dimodifikasi menjadi stempel/cap kanan, tidak dibuang, tidak diasingkan (tetapi dicoba dipisahkan) dan tetap dicemooh. Oleh tangan-tangan yang kini tidak lagi berseragam jelas, (tangan orang-orang yang diwaktu lalu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan menentang keras segala bentuk stempel dan cap kiri).

(tidak selalu berarti bahwa hoax itu 0 % kebenaran, ada asap selalu ada percik api)

Catatan:
Mohon maaf sebelumnya untuk pak Rocky Gerung karena namanya saya cantumkan disini, bila tidak berkenan akan saya hapus tulisan ini.

Selasa, 24 Januari 2017

Deradikalisasi, Haruskah Kebencian Dilawan Kebencian

Mungkin benar bahwa bicara itu memang lebih gampang ketimbang mempraktekkannya. Banyak atau sering mendengar ajakan moral untuk tidak mudah terpancing dengan isu kebencian tentang SARA, serta jangan mudah terpancing dengan provokasi yang mengajak kita untuk saling membenci satu sama lain.



Namun, membaca beredarnya cuitan di twitter tentang spanduk pelarangan pemutaran wayang, serta disuguhi gambar tentang siapa orang-orang yang menggoreng isu tersebut, seolah diperlihatkan dua sisi yang amat bertentangan.

Satu sisi memperlihatkan sifat kemanusiaannya, namun disisi lain justru menampilkan sisi yang tidak jauh berbeda dengan orang atau golongan (gerombolan istilah mereka) yang selama ini selalu ditentangnya.

Penyebaran gambar spanduk serta dibubuhi intro cuitan yang "halus" di twitter, tak ubahnya seperti putung rokok atau obat nyamuk bakar yang sengaja dibuang di hutan bergambut agar membakar habis seluruh hutan. Mudah, murah, tanpa jejak dan bisa dengan mudah cuci tangan agar tetap bersih tak berbau asap kebakaran.

Cara yang serupa tapi tak sama, mencoba menghilangkan sikap radikal (baca: saling membenci) yang belakangan ini makin marak, namun dengan menggunakan cara yang hampir sama, yaitu memupuk pula benih-benih kebencian pada pihak yang lain. 

Apa memang hanya itu satu-satunya cara yang terpikirkan untuk menghilangkan sikap radikal saat ini, atau mungkin mereka lagi pada malas berpikir untuk mencari cara lain? Atau mungkin mereka tengah diburu waktu yang semakin menyempit? Entahlah....

Tak sadarkah bahwa benih yang ditabur suatu saat akan tumbuh, membesar dan semakin besar, benih-benih yang ditanam saat ini akan berbuah suatu saat nanti. Disaat kekuasaan datang silih berganti, saat mereka sudah tidak disini lagi, saat benih-benih kebencian yang ditanam akan bertumbuh digenerasi berikutnya.

Dan sejarah akan berulang, suatu saat akan tiba masanya benih-benih para penggerak de-radikalisasi ini akan berubah menjadi sosok-sosok radikal berikutnya.