Senin, 06 Oktober 2014

Tuhan (Memang) Menyuruh Ibrahim AS Mengorbankan Anaknya



Ilustrasi,

Pak Indro sedang menyuruh anaknya yang bernama Dono untuk naik sepeda, “ Ayo Don naikin sepedanya!”

Dari tembok rumah sebelah, Pak Kasino yang lagi berkebun langsung memprotesnya, “Gila lu nDro! Anak umur 3 tahun sudah lu suruh naik sepeda”.

“Apa lu kaga tahu kalau ntu anak masih belum bisa naik sepeda!”, tambah Pak Kasino.

Dari sudut pandang pak Kasino itu memang benar adanya, kekawatiran pak Kasino memang beralasan, bagaimana nanti kalau Dono jatuh, kecebur selokan atau ditabrak motor. Dan tuduhan kalau pak Indro sangat kejam pada anaknya pun juga menjadi beralasan pula

Namun bisa jadi berbeda bila sudut pandang itu dari pak Indro sendiri, sebagai orang tua yang membesarkan Dono, sudah pasti tahu betul bagaimana kemampuan si Dono. Kaki-kakinya belum sampai ke tanah untuk bisa membuat sepedanya tetap berdiri, keseimbangannya pun masih belum terlatih dengan baik.

Tapi pak Indro yakin bahwa anaknya mampu untuk menaiki sepeda itu, maka disuruhlah si Dono untuk menaiki sepeda itu supaya dia mulai belajar, dengan harapan si Dono cepat mengerti dan bisa naik sepeda dengan sendirinya.

Dan sebagai orang tua yang begitu besar tanggung jawabnya terhadap keselamatan anak, Dono pun sudah dilengkapi dengan alat keselamatan seperti helm dsb. Serta tak lupa akan selalu mengawasi dan mejaga si Dono dari belakang, dan siap memegangi sepeda tersebut bila terlihat tanda-tanda akan terjatuh.

Di sini tujuan pak Indro menjadi jelas, ingin anaknya mempraktekkan langsung apa yang selama ini hanya sebatas teori bersepeda, pak Indro ingin anaknya mengalami sendiri rasanya bersepeda itu seperti bagaimana.

Dari ilustrasi sederhana tersebut,
Mungkin bisa SEDIKIT disamankan dengan apa yang terjadi pada Ibrahim AS, ketika Tuhan memerintahkan Ibrahim As untuk mengorbankan anaknya, apa benar Tuhan tidak tahu keimanan seorang hambanya? Dan apa tidak kejam perintah seperti itu?

Dari sudut pandang manusia mungkin benar saja anggapan seperti itu, tapi bila mencoba dari sudut pandang ke-Tuhanan mungkin saja akan berbeda.

Sedikit mundur kebelakang, ketika masih belum berkeluarga Ibrahim AS pernah di bakar dalam kobaran api, saat itu dengan tegas Ibrahim AS menolak tawaran malaikat yang ingin membantunya, bagi Ibrahim AS cukup baginya hanya Tuhan saja tidak dengan yang lain.     

Namun begitu Ibrahim AS berkeluarga dan punya anak, cintanya mungkin mulai tergoyahkan dan mendua, rasa cinta pada anaknya mulai berkembang dan membesar mendesak kecintaannya pada Tuhan. Dan tak ingin Sahabat-Nya itu terlena, tak ingin dunia menarik serta menggenggamnya, maka diperintahlah Ibrahim AS untuk mengorbankan anaknya.     

Untuk mengajari Ibrahim AS, bukan hanya sekedar dalam teori tapi prakteknya secara langsung, makna cinta yang sebenarnya bukan hanya sebatas cinta dunia yang maya dan sementara ini tapi cinta sejati kepada Sang Maha Sejati.

Dan bagi saya pribadi Ibrahim AS ini adalah sosok makrifat sejati, menyaksikan sendiri atau mengalami sendiri semua jenak-jenak tentang Tuhan dan Ketuhanan-Nya.

TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN?



Menurut kaidah-kaidah dalam fisika, dingin itu sebenarnya adalah ketiadaan panas, Suhu - 460 derajat Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Semua partikel menjadi diam, tidak bisa bereaksi pd suhu tsb. Kita menciptakan kata 'dingin' untuk mengungkapkan ketiadaan panas.

Sementara gelap itu adalah keadaan dimana tidak ada cahaya, cahaya bisa kita pelajari sedangkan gelap tidak bisa. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk mengurai cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari panjang gelombang setiap warna. Seberapa gelap suatu ruangan diukur melalui berapa besar intensitas cahaya yang ada di ruangan tersebut.

Dingin dan gelap hanyalah istilah kesepakatan untuk mengungkapkan atau mengambarkan kebalikan dari kondisi tersebut.

Lantas apakah kejahatan itu ada? mungkin hampir sama dengan kaidah-kaidah fisika diatas, pada dasarnya Tuhan itu tidak menciptakan kejahatan, semua manusia terlahir bersih dan telah pula diberi kesempurnaan berupa sifat-sifat ke-Ilahi-an (tiupan Nafas Cinta-Nya).
  
Kejahatan itu timbul karena tertutupinya sifat-sifat ke-Ilahi-an yang sudah pernah ada pada manusia, oleh keinginan nasfunya, keakuannya, egonya. Hingga bisa melahirkan keserakahan, ketamakan, iri/dengki, dsb, yang pada akhirnya membuat orang tersebut mau melakukan segala cara untuk memenuhi tuntutan nafsunya tersebut.