Bismillahirrohmanirrohiim,
Tulisan ini aku tujukan untuk
seorang sahabat yang pada sebuah malam mengirimiku pesan singkat di
ponsel berbunyi “Le, aku kirim message di fb, ndang dibuka. Urgent”.
Segera aku membuka aplikasi jejaring sosial itu dan menemukan sebuah
pesan darinya yang sangat-sangat panjang. Tema-nya pun memiriskan : Ruh,
kematian dan prosesi penyempurnaan kematian.
Sekaligus tulisan
ini aku tujukan untuk seorang lainnya, yang pernah juga mengirim pesan
padaku yang berbunyi “Aku suka cara-mu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Lewat tulisanmu aku tahu kau sedang berproses “qorrub” dengan cara-mu
yang tidak biasa. Tidak diperlihatkan, sembunyi-sembunyi sehingga jauh
dari “sok” dan kesan pamer”.
Ya, aku tujukan tulisan ini kepada
mereka berdua. Mereka yang secara langsung memberikan perhatian dan
memiliki pandangan yang sejalan dengan “rasa” yang halus mengalir dalam
darahku dan menyebar luas ke seantero jagad maya-ku.
Sebelum aku
memulai, ijinkan hamba yang fakir ini menyebut nama Tuhan denga kalimah
“Wallahu ‘alam, subhanaka laa ngilmalana ‘illama ‘alamtana”. Bahwa
sesunguhnya segala pengetahuan adalah dari Tuhan saja, bukan dari hasil
pikirku, apalagi rekadayaku.
Baiklah aku mulai saja :
Sebagai
pondasi aku akan memapar seputar manusia. Bahwa manusia terdiri dari
badan (tubuh), jiwa dan ruh. Tiga soal itulah yang sejauh ini menopang
kehidupan manusia di muka bumi. Sementara orang berkeyakinan bahwa
manusia terdiri dari dua dua soal saja : badan (tubuh) dan ruh.
Untuk soal tubuh tak perlulah aku jelaskan panjang lebar. Aku tahu
kalian tentu faham secara kaffah dari mana datangnya tubuh dan kemana
setelah kematian menghampirinya. Ya, benar, seluruh bagian tubuh manusia
berasal dari “sari-sarining bumi” atau empat unsur alam yang telah
dikenal luas : tanah, air, api dan angin. Itulah pembentuk “Adam”, yang
secara rasa bimakna “suwung”. Artinya suwung : bahwa sebenarnya tubuh
itu adalah kehampaan, tidak ada institusi riil dari sebuah tubuh
manusia. Sebab ketika terbentuk, memuai dan kemudian kembali lagi pada
keadaan tidak ada, di dalamnya hanyalah memuat sebuah “prosesi” dan
bukan “esensi”.
Jadi ketika kematian menghampiri anak adam,
“sari-sarining bumi” yang membentuk sebuah tubuh akan kembali kepada
asalnya masing-masing, bercampur baur dengan yang lainnya untuk kemudian
kembali lagi membentuk tubuh baru. Sesudahnya, terserah Gusti mau
dipakaikan kepada siapa atau apa.
Soal Jiwa.
Jika
kau memiliki hasrat atau keinginan maka itulah muasal jiwa. Pada sebuah
kepuasan, pada sebuah kekenyangan, pada sebuah kelaparan, pada sebuah
kehausan serta keadaan-keadaa lain yang “setaraf” dengan itu semua, dari
sanalah jiwa berasal. Jadi sumber jiwa adalah “hasrat” dan “keinginan”
yang “boleh” dipenuhi.
Aku sengaja menyebutnya dengan “boleh”
yang mengacu kepada kata “bisa”, agar kalian faham bahwa kemauan itu
berasal dari jiwa yang didorong oleh sebuah kebutuhan badan akan
“sesuatu” untuk dipenuhi. Jadi, jiwa itu bukanlah “sesuatu” yang suci
seperti yang selama ini (mungkin) kalian kenal. Jiwa itu
berpasang-pasangan, persis seperti makhluk Tuhan lainnya. Baik-buruk,
susah-senang dll senantiasa menempel pada jiwa.
Jiwa-lah pendorong menggumpalnya sejumlah keinginan dan juga kemauan yang sering memaksa “Adam” untuk memenuhinya.
Lalu kemana perginya jiwa saat kematian datang ?
Dia akan kembali kepada golongannya di alam hasrat keinginan
(iskat-iskat). Melebur bersama kawan-kawannya di alam itu untuk
selanjutnya, seperti halnya “sari-sarining bumi”, akan kembali dikenakan
oleh siapa atau apa atas “Kun” Tuhan.
Dan berikutnya adalah : Ruh.
Aku sengaja menukil satu ayat Al Qur’an dalam Surat Al-Isra : “Saat kau
(Muhammad) ditanya tentang ruh, katakan bahwa itu adalah urusan-KU”.
Ini mengindikasikan bahwa manusia tidak diberi pengetahuan yang cukup
tentang ruh kecuali sedikit saja.
Ruh itu soal yang jauh dari
jangkauan, bahkan di luarnya. Bisa dirasakan namun tak pernah bisa
terjelaskan secara tuntas. Aku hanya bisa bilang ruh itu lah pembentuk
pola dasar manusia. Tanpa ruh yang meniupkan hidup, manusia tak akan
pernah mampu menjalani kehidupan.
Sebagian manusia meyakini ruh
itu adalah “cuwilan” sifat Gusti Allah. Artinya ruh itu bagian dari
Gusti Allah dan ketika manusia mati ruh akan kembali pada-Nya, menyatu
dengan-Nya. Hati-hati dengan pengertian itu.
Yang aku “rasa”,
manusia itu beda dengan Tuhan, sehingga segala materi pembentuknya pun
tentu berbeda dengan Tuhan. Sehingga ruh tidak pernah menyatu kembali
(manungal) dengan Tuhan. Ketika manusia mati, ruh akan kembali ke
alamnya sendiri.
Ayo aku tengokkan ke sebuah kalimah “Gusti iku
wa laa kaifin bi laa mitsalin”. Artinya, Allah itu “tan kena kiniro tan
kena kinoyongopo”, bahwa Tuhan itu benar-benar tak terbayangkan dan tak
terjelaskan. Jadi kalau ada yang meyakini bahwa ruh itu cuwilan / bagian
dari Tuhan, itu mengingkari kalimah di atas.
Baiklah, karena
keterbatasanku aku akan menggunakan pengibaratan. Anggap saja ruh itu
tetes air laut, sementara Tuhan itu lautan yang maha luas. Meski
pengibaratan ini jauh dari esensinya namun aku rasa ini akan membantu
pemahaman kalian. Ketika ruh itu tetes air laut dan Tuhan itu lautan
yang maha luas, apakah bisa dikatakan bahwa laut itu berasal atau
terbentuk dari tiap tetes air laut ? Tidak kan ? Sebab jka logika ini
yang digunakan maka pada setiap peng-ada-an makhluk maka kuasa lautan
akan berkurang kan ? Dan ketika makhluk semakin bertambah, kuasanya
mengecil karena terlalu banyak di-cuwil, tidak begitu bukan ?
Maka, gunakan logika sebaliknya. Bahwa tiap tetes air laut itu memang
berasal dari laut yang maha luas, namun (sekali lagi namun) untuk
menyebut esensi laut apakah cukup dengan menunjuk lautan luas dengan
garis cakrawalanya ? Apakah cukup dengan menyebut laut utara dan laut
selatan ? Apakah cukup dengan menyebut bahwa laut itu adalah ini dan
laut itu adalah itu ? Tidak ! Sama sekali bukan ! Tidak pernah cukup
kalimat dan logika manusia untuk sekedar menyentuh tiap tetes air laut,
apalagi laut itu sendiri.
Ketika Tuhan tidak terdefinisikan,
maka setiap yang bisa didefinisikan bukanlah Tuhan, begitu bukan ? Maka
sederhananya, antara lautan dan tetes air laut itu sejalan, satu gerakan
namun bukan berarti menyatu. Ketika ada ombak bergerak ke pantai maka
lautan bergerak ke pingir, begitupun dengan tiap tetes air lautnya.
Namun tetap saja tidak bisa dikatakan bahwa tiap tetes itu adalah lautan
atau bahkan sebaliknya bahwa lautan itu ya tetes itu sendiri. Apalagi
bicara penyatuan (kemanungalan) tetes dengan lautan. Tidak pernah ada
penyatuan itu, dan itu telah jelas ditegaskan sepanjang masa bahwa tidak
ada satupun makhluk yang berkesempatan bersatu, bertemu muka atau
bahkan manunggal dengan Tuhan, seistimewa apapun dia !
Maka,
itulah ruh yang menjadi rahasia Tuhan. Bahwa ruh adalah entitas dasar
yang melandasi hidup makhluk dan menjadi penggerak kehidupan makhluk.
Kemana ia berpulang ? Ia akan kembali kepada lautan, namun bukan berarti
menyatu dengan lautan itu sendiri, ia hanya bergerak sesuai kemauan
lautan. Dan pada saatnya nanti ia akan kembali lagi menerima perintah
untuk “turun” dalam kuasa prerogatif Tuhan.
Tentang Kematian
Tidur adalah alamat kematian atau sebut saja kematian kecil atau
latihan kematian. Maka, menjalani proses tidur dengan penuh perhatian
adalah langkah awal yang baik untuk berlatih tentang kematian.
Tidur yang baik itu sama seperti mati yang baik (baik untuk ukuran
kesempurnaan). Yaitu tanpa bermimpi dan tanpa merasakan apapun. Artinya
secara ilmu islam akan disebut kembalinya segenap pembentuk manusia
kepada alamnya masing-masing tanpa kesasar dan tanpa mampir-mampir.
Tidur yang bermimpi persis seperti mati yang kesasar. Persis seperti
mati yang tidak menyadari kematiannya. Maka itu, sungguh beruntung orang
yang bisa tidur tanpa bermimpi. Selain tidurnya nyenyak itu menandakan
posisinya yang mantap dalam alam “laahiyah”. Sebuah alam suwung, tanpa
apa-apa dan tanpa siapa-siapa.
Mati itu perkara mudah dan murah.
Seharusnya tidak perlu ditakuti apalagi harus dipersiapkan masak-masak.
Mati ya mati saja, tidak perlu menyoal tentang mati sampai njlimet yang
mengakibatkan tergerusnya kepasrahan kepada Tuhan dan berganti dengan
ketergantungan kepada doa-doa atau upaya-upaya “penyempurnaan’ yang
banyak dilakukan oleh para pemuka agama.
Sungguh, 100% itu urusan
Tuhan. Ketika siapapun (tak terkecuali para pemuka agama) menyatakan
bahwa kematian itu gini dan gitu, itu adalah sebuah penafsiran dari
sebuah bisikan langit yang sangat boleh jadi terbatas untuk dirinya saja
dan bukan untuk orang lain. Sehingga masing-masing manusia memiliki
ke-khasan sendiri-sendiri dalam menghadapi kematian.
Oh, sobatku...
Bukan berarti aku nuzus (membangkang) kalimat maha guruku. Ini semua
juga kalimat beliau yang kemudian aku rasa lalu sarikan. Ini adalah
tafsir dari rasaku yang aku bagikan pada kalian, kepada anak jaman yang
berbeda waktu dan ruang dengan maha guruku.
Baiklah sobat,
Sekali lagi aku ulangi, mati ya mati saja. Tidak lebih. Ketika maha guru
mengadakan prosesi penyempurnaan, itu adalah sebuah irodah untuk
menyadarkan almarhum bahwa dia sejatinya telah mati, persis seperti
meluruskan tidur agar tidak bermimpi, apalagi bermimpi buruk. Mengapa
demikian ?
Sobat,
Banyak manusia mati tanpa menyadari bahwa
dia telah mati. Bahwa dia telah berpindah alam. Dan, ketika semestinya
dia kembali kepada keadaan kosong (suwung, hampa - laahiyah) agar boleh
kembali ditugaskan ke muka bumi, di justru tersesat masuk ke alam jiwa
yang banyak sekali menawarkan keindahan semu dan juga kesenangan sesaat
atau bahkan tersesat ke alam yang sangat-sangat menakutkan. Bayangkan
saja jika itu terjadi untuk waktu yang lama, berpuluh bahkan bratus
tahun ! Betapa nestapanya dia.
Mengapa bisa tersesat ? Dorongan
jiwa yang terlalu besar atau desakan keinginan yang mendominasi
hari-harinya semasa hidup di dunia-lah penyebabnya. Selain itu, ada pula
penyebab lainnya yang sungguh absurd bagi si awam. Dia adalah
keterkaitan antara masa lalu dan masa kini. Ini yang sangat sulit
ditebas dan dipecahkan. Bagi yang meyakini inkarnasi macam diriku,
inilah salah satu yang memperumit persoalan kematian.
Nah, sobat...
Kesesatan itulah yang diatasi dengan prosesi penyempurnaan.
Penyempurnaan hanyalah sebatas menyadarkan almarhum bahwa sejatinya dia
telah mati. Sekedar menyadarkan bahwa dia sudah tidak tinggal di dunia
lagi. Sebab dalam banyak kasus seorang almarhum merasa tetap hidup di
dunia padahal dia telah mati dan mengabdi atau dimanfaatkan makhluk lain
karena jiwanya tergoda dengan sesuatu yang lebih kuat mempengaruhi
seluruh geraknya semasa hidup di dunia. Ya, semacam keinginan-keinginan
yang tertunda dan sejenisnya.
Perkara sesudah penyempurnaan itu
(wallahu ‘alam) perkara Tuhan, 100% urusan Tuhan. Si pelaku prosesi
penyempurnaan jangan sampai merasa dia lah penyempurna itu. Sebab,
sekali dia merasa menyempurnakan, maka prosesi itu telah terkotori oleh
riya’ ! Dan untuk beberapa kyai yang baru saja dianugerahi kebisaan
melakukan prosesi itu, inilah kendala utamanya. Bagaimana memisahkan dan
memasrahkan total kepada Tuhan dan bukan atas “reka-daya” dia.
Duh sobat,
Andai guruku membaca ini tentu beliau akan tersentak pula !
Lalu, mau dikemanakan setelah kesempurnaan itu tercapai ? Teorinya
adalah berpulang kepada laahiyah (alam suwung) sambil menungu
“cakra-manggilingan” guna kembali menerima amanah di muka bumi. Dan
lagi-lagi itu adalah prerogatif Tuhan, sedang manusia hanya bisa
mengarungi sebuah jalur berikutnya yang telah disiapkan oleh-Nya.
Kemudian, soal batas kemampuan si ruh. Bagaimana ruh itu saat kembali
pulang lalu hidup lagi. Apakah dia memiliki batas pengetahuan dan juga
ke-ngaliman seperti ketika dia hidup dulu ?
Jawabku : Maaf sobat
terpaksa aku luruskan pertanyaan itu. Bukan ruh yang terbatas saat
kembali hidup ke dunia, tetapi jiwa (gumpalan hasrat dan keinginan yang
juga menjadi materi pembentuk manusia).
Ruh itu tetap ruh, tetap
tetes air laut tanpa pernah berubah menjadi apapun. Tanpa keinginan dan
tanpa hasrat. Ketika adam menemukan keber-ada-annya, lalu dilengkapi
dengan jiwa dengan segala problematikanya maka ruh tetap pada jalurnya
yaitu membawa sifat hidup Tuhan. Maka ruh tidak pernah mati, tidak
pernah kemana-mana (urip tan kenane owah, urip tan kenane mati – itulah
ruh).
Jadi, ketika kembali hidup. Maka ruh saja yang tetap,
sementara adam dan jiwanya silih berganti sesuai “Kun” dari Tuhan.
Inilah penjelasan yang paling mendekati untuk sebuah pertanyaan “mengapa
masih ada saja kejahatan di muka bumi ?”. Gimana kejahatan bisa hilang,
sementara jiwa itu berpasangan dan setiap lahir jiwa ber-DNA baik akan
lahir pula jiwa ber-DNA buruk pada saat bersamaan. Sehingga yang
diperlukan oleh manusia (makhluk) adalah berdamai dengan hidup (ruh) dan
kehidupannya (jiwa). Jika memang dia mendapat piranti jiwa yang buruk
(wallahu ‘alam) semasa hidup dia akan mengabdi kepada keburukan dan
sebaliknya.
Apakah itu salah ?
Sobatku terkasih. Ini bukan
soal benar salah. Ini soal hak, soal piranti makhluk yang 100% dalam
genggam kuasa-Nya. Manakah sisi paling kecil dalam peri kehidupan
makhluk yang tanpa campur tangan Tuhan ? Non sense kan ?
Jadi, sobat...
Pesanku untuk mengakhiri kuliahku ini : Janganlah eforia ketika kau
di-nas mnjadi baik. Pun juga jangan bersedih ketika kau di-nas menjadi
oposisi kebaikan. Sungguh itu perkara Tuhan semata.
Salam,
Dulkamid tukang ngarit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar