Kamis, 28 April 2016

Reklamasi Teluk Jakarta (dan) Tanda Tanya

Giant sea wall

Sebagai orang luar Jakarta sebetulnya tidak begitu ngaruh dan berdampak dengan adanya reklamasi teluk di Jakarta sana. Mau ditambah 10 lagi atau seluruh perairan Jakarta diuruk dijadikan daratan semua tetep tidak ada pengaruhnya buat saya.

Hanya saja sebagai warga Indonesia yang memiliki ribuan pulau, yang luasnya luar biasa, yang pulau-pulaunya memiliki keindahan mempesona, yang pembangunan antara timur dan barat masih sangat timpang, kok ya jadi ngerasa kebangeten.

Katanya sang gubernur sih sangat menguntungkan "Jakarta", dalam tanda kutip karena tak jelas apakah yang dimaksud adalah Jakarta dengan kesulurahan warganya, atau Jakarta sebagai pemerintahan, atau hanya segelintir orang Jakarta saja.

Kalau saya coba bayangkan ke lima tahun kedepan, ketika pembangunan semua pulau sudah selesai, ketika gedung-gedung dan seluruh aneka fasilitas yang hendak dibangun disana sudah selesai. Maka yang terbayang adalah aneka dampak (menururut versi saya), yang mungkin akan terjadi di sana.

Tebayang banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk merawat dan menjalankan seluruh aneka kegiatan, usaha, dan jasa yang ada di sana. Dan tentunya seperti yang sudah-sudah tak mungkin hanya warga Jakarta yang akan dipekerjakan disana. Sumber daya manusianya tentu akan diambilkan lagi dari putra-putri daerah yang memiliki keunggulan. Putra-putri daerah yang terbaik akan "dipaksa" lagi keluar dari daerahnya untuk berbondong-bondong menuju ke pusat pemerintahan.

Terbayang pula keeksklusifan wilayah tersebut, akses terbatas yang hanya dimiliki oleh pemilik dan pemangku kepentingan disana membuat garis tegas si kaya dan miskin. Belum lagi kemungkinan adanya penyalah gunaan fasilitas eksklusif seperti itu, seperti pabrik narkoba, prostitusi kelas atas, bahkan mungkin saja salah satu pulaunya akan menjadi kasino terselubung.

Dan juga dampaknya terhadap lingkungan di sekitar pastinya juga akan terjadi, perubahan pada sungai saja sudah berdampak buruk pada lingkungan apalagi ini menguruk lautan yang menjadi muara sungai yang ada.

Seandainya benar-benar mencintai negeri tercinta ini, kenapa pula tidak mengalihkan seluruh atau sebagian dana reklamasi tersebut untuk memajukan pulau-pulau mempesona yang sudah ada. Kenapa rasa cintanya hanya begitu besar pada ibu kota, namun menjadi ciut bila menengok ke Indonesia timur yang semakin jauh tertinggal.

Sebagai rakyat apalah-apalah, hanya bisa nyengir dan semakin menjadi-(jadi) bagian dari segelintir rakyat yang gagal paham terhadap arah yang hendak dituju oleh pemerintahan saat ini (ijin reklamasi ada di pemerintah pusat).

sumber: Marja News

Jumat, 01 April 2016

Tubuh, Jiwa, Ruh dan Kematian (Tulisan teman di Facebook)

Bismillahirrohmanirrohiim,
Tulisan ini aku tujukan untuk seorang sahabat yang pada sebuah malam mengirimiku pesan singkat di ponsel berbunyi “Le, aku kirim message di fb, ndang dibuka. Urgent”. Segera aku membuka aplikasi jejaring sosial itu dan menemukan sebuah pesan darinya yang sangat-sangat panjang. Tema-nya pun memiriskan : Ruh, kematian dan prosesi penyempurnaan kematian.
Sekaligus tulisan ini aku tujukan untuk seorang lainnya, yang pernah juga mengirim pesan padaku yang berbunyi “Aku suka cara-mu mendekatkan diri kepada Tuhan. Lewat tulisanmu aku tahu kau sedang berproses “qorrub” dengan cara-mu yang tidak biasa. Tidak diperlihatkan, sembunyi-sembunyi sehingga jauh dari “sok” dan kesan pamer”.
Ya, aku tujukan tulisan ini kepada mereka berdua. Mereka yang secara langsung memberikan perhatian dan memiliki pandangan yang sejalan dengan “rasa” yang halus mengalir dalam darahku dan menyebar luas ke seantero jagad maya-ku.
Sebelum aku memulai, ijinkan hamba yang fakir ini menyebut nama Tuhan denga kalimah “Wallahu ‘alam, subhanaka laa ngilmalana ‘illama ‘alamtana”. Bahwa sesunguhnya segala pengetahuan adalah dari Tuhan saja, bukan dari hasil pikirku, apalagi rekadayaku.
Baiklah aku mulai saja :
Sebagai pondasi aku akan memapar seputar manusia. Bahwa manusia terdiri dari badan (tubuh), jiwa dan ruh. Tiga soal itulah yang sejauh ini menopang kehidupan manusia di muka bumi. Sementara orang berkeyakinan bahwa manusia terdiri dari dua dua soal saja : badan (tubuh) dan ruh.
Untuk soal tubuh tak perlulah aku jelaskan panjang lebar. Aku tahu kalian tentu faham secara kaffah dari mana datangnya tubuh dan kemana setelah kematian menghampirinya. Ya, benar, seluruh bagian tubuh manusia berasal dari “sari-sarining bumi” atau empat unsur alam yang telah dikenal luas : tanah, air, api dan angin. Itulah pembentuk “Adam”, yang secara rasa bimakna “suwung”. Artinya suwung : bahwa sebenarnya tubuh itu adalah kehampaan, tidak ada institusi riil dari sebuah tubuh manusia. Sebab ketika terbentuk, memuai dan kemudian kembali lagi pada keadaan tidak ada, di dalamnya hanyalah memuat sebuah “prosesi” dan bukan “esensi”.
Jadi ketika kematian menghampiri anak adam, “sari-sarining bumi” yang membentuk sebuah tubuh akan kembali kepada asalnya masing-masing, bercampur baur dengan yang lainnya untuk kemudian kembali lagi membentuk tubuh baru. Sesudahnya, terserah Gusti mau dipakaikan kepada siapa atau apa.
Soal Jiwa.
Jika kau memiliki hasrat atau keinginan maka itulah muasal jiwa. Pada sebuah kepuasan, pada sebuah kekenyangan, pada sebuah kelaparan, pada sebuah kehausan serta keadaan-keadaa lain yang “setaraf” dengan itu semua, dari sanalah jiwa berasal. Jadi sumber jiwa adalah “hasrat” dan “keinginan” yang “boleh” dipenuhi.
Aku sengaja menyebutnya dengan “boleh” yang mengacu kepada kata “bisa”, agar kalian faham bahwa kemauan itu berasal dari jiwa yang didorong oleh sebuah kebutuhan badan akan “sesuatu” untuk dipenuhi. Jadi, jiwa itu bukanlah “sesuatu” yang suci seperti yang selama ini (mungkin) kalian kenal. Jiwa itu berpasang-pasangan, persis seperti makhluk Tuhan lainnya. Baik-buruk, susah-senang dll senantiasa menempel pada jiwa.
Jiwa-lah pendorong menggumpalnya sejumlah keinginan dan juga kemauan yang sering memaksa “Adam” untuk memenuhinya.
Lalu kemana perginya jiwa saat kematian datang ?
Dia akan kembali kepada golongannya di alam hasrat keinginan (iskat-iskat). Melebur bersama kawan-kawannya di alam itu untuk selanjutnya, seperti halnya “sari-sarining bumi”, akan kembali dikenakan oleh siapa atau apa atas “Kun” Tuhan.
Dan berikutnya adalah : Ruh.
Aku sengaja menukil satu ayat Al Qur’an dalam Surat Al-Isra : “Saat kau (Muhammad) ditanya tentang ruh, katakan bahwa itu adalah urusan-KU”. Ini mengindikasikan bahwa manusia tidak diberi pengetahuan yang cukup tentang ruh kecuali sedikit saja.
Ruh itu soal yang jauh dari jangkauan, bahkan di luarnya. Bisa dirasakan namun tak pernah bisa terjelaskan secara tuntas. Aku hanya bisa bilang ruh itu lah pembentuk pola dasar manusia. Tanpa ruh yang meniupkan hidup, manusia tak akan pernah mampu menjalani kehidupan.
Sebagian manusia meyakini ruh itu adalah “cuwilan” sifat Gusti Allah. Artinya ruh itu bagian dari Gusti Allah dan ketika manusia mati ruh akan kembali pada-Nya, menyatu dengan-Nya. Hati-hati dengan pengertian itu.
Yang aku “rasa”, manusia itu beda dengan Tuhan, sehingga segala materi pembentuknya pun tentu berbeda dengan Tuhan. Sehingga ruh tidak pernah menyatu kembali (manungal) dengan Tuhan. Ketika manusia mati, ruh akan kembali ke alamnya sendiri.
Ayo aku tengokkan ke sebuah kalimah “Gusti iku wa laa kaifin bi laa mitsalin”. Artinya, Allah itu “tan kena kiniro tan kena kinoyongopo”, bahwa Tuhan itu benar-benar tak terbayangkan dan tak terjelaskan. Jadi kalau ada yang meyakini bahwa ruh itu cuwilan / bagian dari Tuhan, itu mengingkari kalimah di atas.
Baiklah, karena keterbatasanku aku akan menggunakan pengibaratan. Anggap saja ruh itu tetes air laut, sementara Tuhan itu lautan yang maha luas. Meski pengibaratan ini jauh dari esensinya namun aku rasa ini akan membantu pemahaman kalian. Ketika ruh itu tetes air laut dan Tuhan itu lautan yang maha luas, apakah bisa dikatakan bahwa laut itu berasal atau terbentuk dari tiap tetes air laut ? Tidak kan ? Sebab jka logika ini yang digunakan maka pada setiap peng-ada-an makhluk maka kuasa lautan akan berkurang kan ? Dan ketika makhluk semakin bertambah, kuasanya mengecil karena terlalu banyak di-cuwil, tidak begitu bukan ?
Maka, gunakan logika sebaliknya. Bahwa tiap tetes air laut itu memang berasal dari laut yang maha luas, namun (sekali lagi namun) untuk menyebut esensi laut apakah cukup dengan menunjuk lautan luas dengan garis cakrawalanya ? Apakah cukup dengan menyebut laut utara dan laut selatan ? Apakah cukup dengan menyebut bahwa laut itu adalah ini dan laut itu adalah itu ? Tidak ! Sama sekali bukan ! Tidak pernah cukup kalimat dan logika manusia untuk sekedar menyentuh tiap tetes air laut, apalagi laut itu sendiri.
Ketika Tuhan tidak terdefinisikan, maka setiap yang bisa didefinisikan bukanlah Tuhan, begitu bukan ? Maka sederhananya, antara lautan dan tetes air laut itu sejalan, satu gerakan namun bukan berarti menyatu. Ketika ada ombak bergerak ke pantai maka lautan bergerak ke pingir, begitupun dengan tiap tetes air lautnya. Namun tetap saja tidak bisa dikatakan bahwa tiap tetes itu adalah lautan atau bahkan sebaliknya bahwa lautan itu ya tetes itu sendiri. Apalagi bicara penyatuan (kemanungalan) tetes dengan lautan. Tidak pernah ada penyatuan itu, dan itu telah jelas ditegaskan sepanjang masa bahwa tidak ada satupun makhluk yang berkesempatan bersatu, bertemu muka atau bahkan manunggal dengan Tuhan, seistimewa apapun dia !
Maka, itulah ruh yang menjadi rahasia Tuhan. Bahwa ruh adalah entitas dasar yang melandasi hidup makhluk dan menjadi penggerak kehidupan makhluk. Kemana ia berpulang ? Ia akan kembali kepada lautan, namun bukan berarti menyatu dengan lautan itu sendiri, ia hanya bergerak sesuai kemauan lautan. Dan pada saatnya nanti ia akan kembali lagi menerima perintah untuk “turun” dalam kuasa prerogatif Tuhan.
Tentang Kematian
Tidur adalah alamat kematian atau sebut saja kematian kecil atau latihan kematian. Maka, menjalani proses tidur dengan penuh perhatian adalah langkah awal yang baik untuk berlatih tentang kematian.
Tidur yang baik itu sama seperti mati yang baik (baik untuk ukuran kesempurnaan). Yaitu tanpa bermimpi dan tanpa merasakan apapun. Artinya secara ilmu islam akan disebut kembalinya segenap pembentuk manusia kepada alamnya masing-masing tanpa kesasar dan tanpa mampir-mampir.
Tidur yang bermimpi persis seperti mati yang kesasar. Persis seperti mati yang tidak menyadari kematiannya. Maka itu, sungguh beruntung orang yang bisa tidur tanpa bermimpi. Selain tidurnya nyenyak itu menandakan posisinya yang mantap dalam alam “laahiyah”. Sebuah alam suwung, tanpa apa-apa dan tanpa siapa-siapa.
Mati itu perkara mudah dan murah. Seharusnya tidak perlu ditakuti apalagi harus dipersiapkan masak-masak. Mati ya mati saja, tidak perlu menyoal tentang mati sampai njlimet yang mengakibatkan tergerusnya kepasrahan kepada Tuhan dan berganti dengan ketergantungan kepada doa-doa atau upaya-upaya “penyempurnaan’ yang banyak dilakukan oleh para pemuka agama.
Sungguh, 100% itu urusan Tuhan. Ketika siapapun (tak terkecuali para pemuka agama) menyatakan bahwa kematian itu gini dan gitu, itu adalah sebuah penafsiran dari sebuah bisikan langit yang sangat boleh jadi terbatas untuk dirinya saja dan bukan untuk orang lain. Sehingga masing-masing manusia memiliki ke-khasan sendiri-sendiri dalam menghadapi kematian.
Oh, sobatku...
Bukan berarti aku nuzus (membangkang) kalimat maha guruku. Ini semua juga kalimat beliau yang kemudian aku rasa lalu sarikan. Ini adalah tafsir dari rasaku yang aku bagikan pada kalian, kepada anak jaman yang berbeda waktu dan ruang dengan maha guruku.
Baiklah sobat,
Sekali lagi aku ulangi, mati ya mati saja. Tidak lebih. Ketika maha guru mengadakan prosesi penyempurnaan, itu adalah sebuah irodah untuk menyadarkan almarhum bahwa dia sejatinya telah mati, persis seperti meluruskan tidur agar tidak bermimpi, apalagi bermimpi buruk. Mengapa demikian ?
Sobat,
Banyak manusia mati tanpa menyadari bahwa dia telah mati. Bahwa dia telah berpindah alam. Dan, ketika semestinya dia kembali kepada keadaan kosong (suwung, hampa - laahiyah) agar boleh kembali ditugaskan ke muka bumi, di justru tersesat masuk ke alam jiwa yang banyak sekali menawarkan keindahan semu dan juga kesenangan sesaat atau bahkan tersesat ke alam yang sangat-sangat menakutkan. Bayangkan saja jika itu terjadi untuk waktu yang lama, berpuluh bahkan bratus tahun ! Betapa nestapanya dia.
Mengapa bisa tersesat ? Dorongan jiwa yang terlalu besar atau desakan keinginan yang mendominasi hari-harinya semasa hidup di dunia-lah penyebabnya. Selain itu, ada pula penyebab lainnya yang sungguh absurd bagi si awam. Dia adalah keterkaitan antara masa lalu dan masa kini. Ini yang sangat sulit ditebas dan dipecahkan. Bagi yang meyakini inkarnasi macam diriku, inilah salah satu yang memperumit persoalan kematian.
Nah, sobat...
Kesesatan itulah yang diatasi dengan prosesi penyempurnaan. Penyempurnaan hanyalah sebatas menyadarkan almarhum bahwa sejatinya dia telah mati. Sekedar menyadarkan bahwa dia sudah tidak tinggal di dunia lagi. Sebab dalam banyak kasus seorang almarhum merasa tetap hidup di dunia padahal dia telah mati dan mengabdi atau dimanfaatkan makhluk lain karena jiwanya tergoda dengan sesuatu yang lebih kuat mempengaruhi seluruh geraknya semasa hidup di dunia. Ya, semacam keinginan-keinginan yang tertunda dan sejenisnya.
Perkara sesudah penyempurnaan itu (wallahu ‘alam) perkara Tuhan, 100% urusan Tuhan. Si pelaku prosesi penyempurnaan jangan sampai merasa dia lah penyempurna itu. Sebab, sekali dia merasa menyempurnakan, maka prosesi itu telah terkotori oleh riya’ ! Dan untuk beberapa kyai yang baru saja dianugerahi kebisaan melakukan prosesi itu, inilah kendala utamanya. Bagaimana memisahkan dan memasrahkan total kepada Tuhan dan bukan atas “reka-daya” dia.
Duh sobat,
Andai guruku membaca ini tentu beliau akan tersentak pula !
Lalu, mau dikemanakan setelah kesempurnaan itu tercapai ? Teorinya adalah berpulang kepada laahiyah (alam suwung) sambil menungu “cakra-manggilingan” guna kembali menerima amanah di muka bumi. Dan lagi-lagi itu adalah prerogatif Tuhan, sedang manusia hanya bisa mengarungi sebuah jalur berikutnya yang telah disiapkan oleh-Nya.
Kemudian, soal batas kemampuan si ruh. Bagaimana ruh itu saat kembali pulang lalu hidup lagi. Apakah dia memiliki batas pengetahuan dan juga ke-ngaliman seperti ketika dia hidup dulu ?
Jawabku : Maaf sobat terpaksa aku luruskan pertanyaan itu. Bukan ruh yang terbatas saat kembali hidup ke dunia, tetapi jiwa (gumpalan hasrat dan keinginan yang juga menjadi materi pembentuk manusia).
Ruh itu tetap ruh, tetap tetes air laut tanpa pernah berubah menjadi apapun. Tanpa keinginan dan tanpa hasrat. Ketika adam menemukan keber-ada-annya, lalu dilengkapi dengan jiwa dengan segala problematikanya maka ruh tetap pada jalurnya yaitu membawa sifat hidup Tuhan. Maka ruh tidak pernah mati, tidak pernah kemana-mana (urip tan kenane owah, urip tan kenane mati – itulah ruh).
Jadi, ketika kembali hidup. Maka ruh saja yang tetap, sementara adam dan jiwanya silih berganti sesuai “Kun” dari Tuhan. Inilah penjelasan yang paling mendekati untuk sebuah pertanyaan “mengapa masih ada saja kejahatan di muka bumi ?”. Gimana kejahatan bisa hilang, sementara jiwa itu berpasangan dan setiap lahir jiwa ber-DNA baik akan lahir pula jiwa ber-DNA buruk pada saat bersamaan. Sehingga yang diperlukan oleh manusia (makhluk) adalah berdamai dengan hidup (ruh) dan kehidupannya (jiwa). Jika memang dia mendapat piranti jiwa yang buruk (wallahu ‘alam) semasa hidup dia akan mengabdi kepada keburukan dan sebaliknya.
Apakah itu salah ?
Sobatku terkasih. Ini bukan soal benar salah. Ini soal hak, soal piranti makhluk yang 100% dalam genggam kuasa-Nya. Manakah sisi paling kecil dalam peri kehidupan makhluk yang tanpa campur tangan Tuhan ? Non sense kan ?
Jadi, sobat...
Pesanku untuk mengakhiri kuliahku ini : Janganlah eforia ketika kau di-nas mnjadi baik. Pun juga jangan bersedih ketika kau di-nas menjadi oposisi kebaikan. Sungguh itu perkara Tuhan semata.
Salam,
Dulkamid tukang ngarit