Minggu, 02 Oktober 2016

PILKADA DKI, Berebut Simpati si Kaya vs si Miskin

Ibu Kota adalah cerminan Indonesia, apa yang dimiliki negeri ini dipantulkan dengan baik oleh Jakarta. Keragaman dan tentu saja yang tidak bisa ketinggalan adalah potret kesenjangan perekonomian dan juga pendidikan, kelas menengah bawah dan kelas menengah atas terlihat dengan jelas disana.

Dalam kaitannya dengan pilkada DKI, strategi merebut simpati dan hati dari dua kasta ibu kota ini jauh lebih sederhana dibandingkan dengan mengkotak-kotakan mereka dalam beberapa sub bagian. Seperti berdasarkan bendera politik mereka merah, hijau, kuning, biru, dll, atau berdasarkan kesamaan agama maupun kesukuan. Menjadi lebih gampang dalam memetakan kebutuhan dan keinginan mereka, yang secara otomatis juga akan labih mudah mengatur strateginya.

Kelas Menengah Keatas

Bagi menengah atas yang memiliki penghasilan ekonomi diatas rata-rata tentunya tidak lagi dipusingkan dengan kebutuhan perut keluarga mereka. Kasta ini tidak lagi dibebani pikiran besok makan apa, tapi sudah bisa berpikir besok enaknya makan dimana lagi ya. Atau kuliner mana lagi yang perlu dicoba, restoran atau rumah makan mana lagi yang mesti dikunjungi.

Selain itu golongan ini juga memiliki tingkat pendidikan yang baik serta sangat melek akan teknologi, kemampuan ekonomi mereka memungkinkannya untuk mendapatkan informasi teknologi dengan sangat baik. Melalui smartpone atau gaged, mereka bisa dengan mudah mengakses berita dan perkembangan dunia lewat koneksi media sosial dan internet yang tersedia.

Informasi dan pengetahuan yang melimpah membuat mereka tahu bagaimana kota-kota di belahan dunia lain, bagaimana kebersihan, ketertiban dan keindahan sebuah kota menjadi nyaman untuk ditinggali. Hal itu membuat warga kelas menengah atas punya keinginan untuk mendapatkan kenyamanan yang sama, sebuah kota yang ideal yang seharusnya layak untuk dihuni.

Dan dengan tidak dipusingkan lagi oleh kebutuhan perut, kasta ini bisa menjadi pemilih aktif. Mendukung calon dengan lebih total, tidak sayang menggunakan sumber daya yang dimilikinya, seperti uang, tenaga dan pikirannya untuk pemenangan calon mereka.

Mereka akan cocok dengan gaya pemimpin yang mampu menertibkan warga dan memiliki konsep kota yang nyaman untuk ditinggali. Kota yang bisa nyaman untuk keluarga mereka, nyaman ketika berangkat kerja, nyaman ketika akhir pekan tiba, dan segala bentuk kenyaman bagi kehidupan mereka.

Gusur, relokasi dan tertibkan tidak menjadi masalah, asal bisa menyamankan mereka.

Kelas Menengah Bawah

Kebalikan dari kasta diatas, ini adalah golongan yang masih disibukan oleh pertanyaan besok makan apa, bukan besok makan dimana. Hari mereka masih diisi oleh kerja untuk sesuap nasi, dan bahkan mungkin lebih memilih uangnya untuk makan daripada untuk pendidikan. Berita hanya bisa dinikmati lewat televisi, teknologi hanya barang yang bisa dilihat tapi sulit untuk dimiliki.

Yang penting ada, murah dan meriah masih menjadi tujuan, kalau ada dan lebih murah dipinggir kali mengapa mesti cari yang lain, kalau ada yang membeli dagangannya lebih banyak meski menganggu kenyamanan kenapa harus pindah. Mereka masih berpikir sederhana, ada uang bisa makan, tidak ada uang keluarga bisa kelaparan.

Dan karena masih dipusingkan oleh persoalan perut, urusan politik masuk daftar terakhir dalam prioritas mereka. Pemilihan kepala daerah masih sebatas perayaan lima tahunan, syukur-syukur ada politikus licik yang bagi -bagi duit, mereka bisa sedikit ikut berpesta-pora. Dukung-mendukung hanya bila menguntungkan mereka, ikut kampanye hanya agar dapat kaos, nasi bungkus dan uang sekadarnya.

Oleh karenannya penggusuran dan penertiban adalah satu hal yang menyakitkan bagi kasta ini, dengan penggusuran mereka dijauhkan dari sumber-sumber penghasilan mereka, dijauhkan dari lokasi strategis mata pencaharian mereka, relokasi menjadikan mereka seperti memulai lagi dari awal usaha yang sudah mereka jalankan bertahun-tahun.

Secara otomtis mereka akan mendukung calon yang peduli pada posisi mereka, calon yang bisa melihat dan merasakan apa yang juga biasa mereka lihat dan rasakan, calon yang bisa memahami mereka secara utuh, bukan hanya sebatas data-data tapi juga berdasar atas realita yang ada.

Namun pada akhirnya strategi apapun yang diterapkan, apakah merebut simpati yang kaya, merebut simpati yang miskin, merebut simpati mama muda, ataupun merebut simpati generasi muda itu adalah sah-sah saja. Asal jangan membawa pilkada kearah SARA, karena itu bukan strategi yang keren........