Membaca status teman di fb (bukan tentang artikel di Kompasiana),
[["Keyakinan
Mendahului Akal"
Syarat shahnya istinja' (sesuci - cebok) itu syariatnya di
nyatakan sudah suci, apabila telah hilang :
(1).
Bau,
(2). Warna dan
(3). Rasa
Bau dapat di nyatakan dg indra penciuman, warnanya
('ainiyah) dapat di nyatakan dg indra penglihatan, namun "rasa"
haruskah musti di rasakan terlebih dulu ... ? di sanalah domain "hakekat
keyakinan" mendahului rasionalitas akal.]]
Status diatas membuat saya jadi senyum-senyum
sendiri dan kemudian bertanya, “Siapa kira-kira orang yang benar-benar tau
rasanya kotoran? Siapa yang pernah benar-benar pernah mencoba merasakan dan
mencicipinya?”
Saya super yakin bahwa tidak banyak yang dengan
sadar dan sesadar-sadarnya telah mencicipi kotoran apalagi kotorannya sendiri.
Bila demikian adanya, lantas darimana saya dan juga anda semua yang belum
pernah merasakannya, menjadi begitu yakin bahwa kotoran dan juga termasuk kotoran
anda sendiri ada rasanya (entah enak atau tidak enak)?
Darimana datangnya keyakinan saya dan anda tersebut?
Padahal belum pernah membuktikan sendiri rasanya.
Ini mengingatkan saya pada debat antara theis dan
atheis, satu dengan yakin mengatakan Tuhan itu ada sementara satunya lagi
bersikukuh bahwa Tuhan itu tidak ada. Meski keduanya dengan landasan argumennya
masing-masing, dan dengan alat bukti yang sebenarnya sama namun ternyata
membawa kesimpulan yang berbeda, yaitu alam semesta.
Kasus tersebut mirip dengan masalah kotoran diatas,
antara yang yakin bahwa kotoran mempunyai rasa (entah enak atau tidak) dan yang
meyakini bahwa kotoran tidak mempunyai rasa apapun. Alat bukti yang dimilikipun
juga sama, yaitu dari mengamati bentuk dan baunya, tapi ternyata kesimpulan
yang diambil juga menjadi berbeda.
Siapakah yang benar diantara kedua pendapat
tersebut, tentunya yang berani mencoba memakan sendiri kotoran tersebut. Mereka
yang benar-benar mengunyah, merasakan teksturnya dan kemudian menelannya, yang tahu
dengan sebenar-benarnya (makrifat) terhadap rasa kotoran tersebut.
Meyakini adanya rasa pada kotoran tapi tidak
benar-benar mencobanya sendiri mungkin hanya akan sampai pada bau dan bentuknya
saja, terjebak pada keyakinan berdasarkan katanya A, katanya B, katanya C, dan
seterusnya.
Sementara meyakini bahwa kotoran tidak ada rasanya
samasekali namun tidak mau mencicipi sendiri, hanya berlandaskan teori-teori
kemungkinan saja, juga akan terjebak hanya sebatas keyakinannya pada sebuah teori.
Sayangnya masalah Tuhan dan Ketuhanan tidak semudah
merasakan kotoran, yang bisa diicip, dirasakan, dan kemudian
disimpulkan.........
NB: Ternyata di Jepang kotoran ini sudah diekstrak
dan diberi aneka rasa, tapi apakah sang peneliti sendiri sudah pernah mencicipi
rasa murninya atau rasanya saat masih asli, penulis sendiri belum menemukan
sumbernya.
Sayangnya masalah Tuhan dan Ketuhanan tidak semudah merasakan kotoran, yang bisa diicip,
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia