Senin, 26 Oktober 2015

Bagaimana Rasanya Kotoran a.k.a Tai?

Membaca status teman di fb (bukan tentang artikel di Kompasiana),

[["Keyakinan Mendahului Akal"

Syarat shahnya istinja' (sesuci - cebok) itu syariatnya di nyatakan sudah suci, apabila telah hilang :

(1). Bau,
(2). Warna dan
(3). Rasa


Bau dapat di nyatakan dg indra penciuman, warnanya ('ainiyah) dapat di nyatakan dg indra penglihatan, namun "rasa" haruskah musti di rasakan terlebih dulu ... ? di sanalah domain "hakekat keyakinan" mendahului rasionalitas akal.]]

Status diatas membuat saya jadi senyum-senyum sendiri dan kemudian bertanya, “Siapa kira-kira orang yang benar-benar tau rasanya kotoran? Siapa yang pernah benar-benar pernah mencoba merasakan dan mencicipinya?”

Saya super yakin bahwa tidak banyak yang dengan sadar dan sesadar-sadarnya telah mencicipi kotoran apalagi kotorannya sendiri. Bila demikian adanya, lantas darimana saya dan juga anda semua yang belum pernah merasakannya, menjadi begitu yakin bahwa kotoran dan juga termasuk kotoran anda sendiri ada rasanya (entah enak atau tidak enak)?

Darimana datangnya keyakinan saya dan anda tersebut? Padahal belum pernah membuktikan sendiri rasanya.

Ini mengingatkan saya pada debat antara theis dan atheis, satu dengan yakin mengatakan Tuhan itu ada sementara satunya lagi bersikukuh bahwa Tuhan itu tidak ada. Meski keduanya dengan landasan argumennya masing-masing, dan dengan alat bukti yang sebenarnya sama namun ternyata membawa kesimpulan yang berbeda, yaitu alam semesta.

Kasus tersebut mirip dengan masalah kotoran diatas, antara yang yakin bahwa kotoran mempunyai rasa (entah enak atau tidak) dan yang meyakini bahwa kotoran tidak mempunyai rasa apapun. Alat bukti yang dimilikipun juga sama, yaitu dari mengamati bentuk dan baunya, tapi ternyata kesimpulan yang diambil juga menjadi berbeda.

Siapakah yang benar diantara kedua pendapat tersebut, tentunya yang berani mencoba memakan sendiri kotoran tersebut. Mereka yang benar-benar mengunyah, merasakan teksturnya dan kemudian menelannya, yang tahu dengan sebenar-benarnya (makrifat) terhadap rasa kotoran tersebut.

Meyakini adanya rasa pada kotoran tapi tidak benar-benar mencobanya sendiri mungkin hanya akan sampai pada bau dan bentuknya saja, terjebak pada keyakinan berdasarkan katanya A, katanya B, katanya C, dan seterusnya.

Sementara meyakini bahwa kotoran tidak ada rasanya samasekali namun tidak mau mencicipi sendiri, hanya berlandaskan teori-teori kemungkinan saja, juga akan terjebak hanya sebatas keyakinannya pada sebuah teori.

Sayangnya masalah Tuhan dan Ketuhanan tidak semudah merasakan kotoran, yang bisa diicip, dirasakan, dan kemudian disimpulkan.........

NB: Ternyata di Jepang kotoran ini sudah diekstrak dan diberi aneka rasa, tapi apakah sang peneliti sendiri sudah pernah mencicipi rasa murninya atau rasanya saat masih asli, penulis sendiri belum menemukan sumbernya. 



1 komentar: