Di sela pepohonan gosong yang masih memancarkan
panas sisa kebakaran, di salah satu sudut yang tidak begitu luas, secuil area
yang masih bisa mereka selamatkan dari kobaran api yang menggila, para penghuni
rimba tengah berkumpul.
Dipimpin Kura-kura tua dengan suara dalam, mencoba
mengatasi hiruk pikuk dari aneka warganya.
“kita laporkan saja pada Baginda raja”, ujar Badak
“Percuma, Baginda Harimau berada jauh diseberang
pulau”, kata Burung
“kita sewa pasukan negeri tetangga saja”, celetuk
Monyet
“Aku nanti yang akan membiyayai”, imbuhnya pongah
“hu u u.... hu u u...”, teriakan dan gerutuan warga
berbaur mejadi satu
Dahulu warga hutan termasuk monyet hanya membakar
seperlunya saja, sekedar untuk bisa menanam tanaman yang menjadi kebutuhan
pokok mereka. Namun Monyet tak cukup dengan rumpun pisang yang sudah dimiliki, dengan
rakus membuka lahan lebih luas lagi.
“Lantas kalian mau apa”, sergah Monyet tanpa merasa
bersalah
“Cukup...”,
pinta Kura-kura mencoba menengahi
“Saling menyalahkan tak akan membuat api padam di
rimba kita”
“Kemarau tahun ini memang lebih panjang dari
sebelumnya, mungkin hanya turunnya hujan yang bisa memadamkan kebakaran hebat
ini”, kata Kura-kura
“Lantas bagaimana cara mendatangkan hujan yang
memang belum musimnya?”, tanya Gajah
“Di Timur ada satu tempat dimana masih ada rawa
dengan sisa-sisa air yang menggenang, di sana tinggal si Katak pemanggil hujan”
“Bawalah Katak itu kesini untuk memanggil hujan, itu
satu-satunya harapan kita sebelum seluruh rimba musnah terbakar”, lanjut
Kura-kura
Monyet langsung menyeringai culas, “Aku yang akan
berangkat, akan kubiayai semua perjalan ini”. Dengan cepat otaknya berputar,
hujan akan menyelamatkan sisa-sisa pokok pisangnya yang siap panen satu bulan
lagi.
Kura-kura dan seluruh warga mengangguk setuju.
-------------
Setelah lama berputar, dari satu rawa ke rawa yang
lain, dari satu genangan air ke genangan air lainya, akhirnya bertemu juga
dengan sang Katak.
“Apa yang kau inginkan?”, tanya Katak
“Aku ingin minta pertolonganmu, berapapun biayanya
akan kupenuhi”, kata Monyet
“Pertolongan apa?”, Katak minta penjelasan
“Minta tolong memanggilkan hujan, agar kebakaran rimba
kami cepat padam”, jawab Monyet
“Baiklah, aku tidak minta imbalan apapun hanya saja
suaraku saat ini serak, asap telah membuat tenggorokannku mengering”, jelas
Katak
“Lantas bagaimana ini?”, seru Monyet sedikit panik
“Ambilkan aku air dari lubuk di sungai sebelah
Utara rawa, air disitu mengandung akar yang bisa menyembuhkan serakku dengan
cepat”, kata Katak
Dengan menyusuri sungai yang mengering sampailah Monyet
di lubuk yang dimaksud, tengah dijaga kawanan Buaya.
“Mau apa kau”, bentak Buaya yang kelaparan
“Ijinkan aku mengambil sedikit air di lubukmu itu”,
pinta Monyet
“Boleh, asal kaubawakan aku daging untuk makanan wargaku
terlebih dahulu”, kata Buaya
“Ada kawanan Kerbau di padang rumput atas sana, kau
bisa mendapatkanya”. Tambah Buaya
Berangkatlah Monyet ke padang rumput tersebut,
disana banyak Kerbau liar keleleran dan kelaparan. Padang rumput itu semakin
mengering, tidak banyak lagi rumput yang bisa dimakan.
“Bisakah kuminta dagingmu wahai Kerbau, biarkan
kubawa seekor Kerbau yang telah mati di pojok sana”, pinta Monyet dengan wajah
memelas.
“Untuk apa kau bawa daging Kerbau, bukankah engkau
pemakan buah?”, tanya Kerbau
“Untuk kupersembahkan pada Buaya agar aku bisa
memperoleh air di lubuknya, air yang dibutuhkan Katak untuk memanggil hujan”,
jelas si Monyet
“Baiklah, boleh kau bawa daging itu, hanya saja aku
minta satu syarat, bikinkan jembatan untuk menyeberang ke padang rumput di
sebelah jurang sana”.
“Uruk jurang itu supaya kawanan kami bisa lewat
tanpa harus memutar, kawanan kami banyak yang kelaparan tak bakal mampu
mencapai padang rumput diseberang bila mesti berjalan memutar”, jelas Kerbau
Monyet memutar otak dan menghitung ulang, yang ia
punya hanyalah pohon-pohon pisang di kebunnya yang luas. Ribuan pohon pisangnya
bila dimasukkan ke jurang tersebut bisa saja menjadi jembatan seperti yang
diminta Kerbau.
“Tak apa, kukorbankan dulu pohon pisang itu” batin
Monyet, “biarlah amarah warga dan para tetua mereda terlebih dahulu. Bila
namaku baik, musim depan aku pasti akan
diperbolehkan menanam pisang lagi.”
Maka dipanggilah kawanan Monyet, bersama-sama
mereka menaruh pohon pisang dijurang hingga bisa menjadi jembatan penghubung
antara padang rumput disini dan di seberang sana. Tak banyak pohon pisang yang
tersisa, tinggal serumpun seperti biasa mereka dapatkan.
Jembatan pisang telah selesai, kawanan Kerbaupun
satu persatu pergi menyeberang, yang mati kelaparan ditinggalkan di padang.
“Trimakasih, amblilah daging yang kau butuhkan.”
kata Kerbau pada Monyet
Bergotong royong kawanan Monyet membawa bangkai
Kerbau ketempat Buaya, disana Monyet mendapatkan air yang dibutuhkan
Katak.
“Katak!! ini air yang kau minta tadi” teriak Monyet
di kubangan tempat Katak tinggal
Sepi, tidak ada jawaban.
“Katak!”
.......
“Katak!”
......
Kresek..... Kresek..... terdengar suara di
rerumputan dekat rawa. Monyet mendekat kearah suara itu, disibak perlahan rumput
yang menghalangi pandangannya.
Ada ular melingkar disana, tengah tertidur pulas
dengan perut membesar.
.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar