Sabtu, 07 November 2015

Malas Menulis atau Malas Mempublish

Enaknya disebut malas menulis atau malas mempublish, atau sebetulnya memang murni malas menulis tapi dengan dalih malas mempublish.

Terus terang (bukan terang terus), semenjak sekolah menulis di Kompasiana urusan tulis menulis pada saat ini menjadi hal yang mudah (sombong boleh dong), meskipun hanya menghasilkan tulisan murahan dan pasaran.

Namun bila menenggok kebelakang tetang sejarah tulis-menulis dari penulis, sesungguhnya cara menulis yang menghasilkan tulisan murahan dan pasaran yang sering penulis buat hingga hari ini, merupakan pencapaian yang sungguh amat luar biasa. 

Bagaimana tidak, jaman dahulu untuk mengembangkan sebuah ide menjadi satu paragraf saja rasanya sungguh menjadi beban yang berat, butuh berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk menyelesaikannya.

Dan sekarang, dari proses memperoleh ide, mengembangkannya, menuliskannya, mengeditnya (beberapa tulisan tanpa perlu editan) hingga menayangkannya hanya butuh setengah hari saja, bahkan ada beberapa tulisan yang hanya butuh waktu 3-4 jam.

Cuma sayang ide dan tulisan yang bisa cepat tayang tersebut bukanlah jenis penulisan yang menjadi minat penulis, jenis tulisan opini politik, hiburan, atau sosial, yang memang dengan mudah menemukan idenya. Mulai dari berita, blog keroyokan macam kompasiana, hingga status di medsos bisa menjadi sumber ide yang bisa dikembangakan menjadi sebuah tulisan.

Yang menjadi minat sebenarnya dari penulis adalah filsafat (meski filsafat-filsafatan) dan juga tasawuf meski hanya sebatas dari kacamata seorang pembelajar.  

Tapi justru disinilah akar masalahnya, tulisan terutama tentang pengalaman sebagai pembelajar dan pemerhati tasawuf, ada beban tersendiri setiap akan mempublish sebuah artikel yang bertema per-tasawuf-an.

Tulisan yang biasanya saya masukkan dalam kategori uneg-uneg dan aneh-aneh, adalah bentuk renungan saya terhadap aneka pelajaran, pengajaran dari para sesepuh, sahabat dan juga dari buku-buku tasawuf.

Setiap akan menayangkan sebuah tulisan dengan tema tersebut selalu saja ada keengganan, ada saja alasan-alasan yang bersliweran, ada saja aneka penyangkalan bermunculan, namun juga selalu ada saja pembenaran yang datang kemudian.

Beraneka alasan ketika enggan menayangkan sebuah tulisan yang pada akhirnya tertutup juga oleh pembenaran, dengan dalih ingin berbagi atau ingin tulisan saya suatu saat dibaca oleh anak cucu. (Padahal aslinya adalah sebentuk nafsu yang samar, nafsu atau keinginan untuk dianggap hebat, ingin dianggap sudah nyufi, ingin dianggap makrifat, dsb).


1 komentar:

  1. 22nya sih yaa... tapi sebaiknya sifat malas itu harus dibuang jauh-jauh
    Penyebab Penyakit Epilepsi

    BalasHapus