Senin, 07 September 2015

73 Aliran Benarkah Menjadi Rahmat? (Renungan Kasus Teuku Wisnu)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. 

Mengacu pada hadist diatas, 73 bahkan lebih perbedaan aliran/golongan (sudut pemahaman) yang muncul sepeninggal Rosulullah sepertinya menjadi hal yang sewajarnya terjadi. Satu hal yang telah diprediksi jauh sebelumnya oleh Rosulullah sendiri.

Dengan tongkat estafet kepemimpinan yang tidak ditunjuk secara resmi (tidak ada surat wasiat) dari Rosulullah yang bisa dianggap legal untuk mengantikan Beliau (meski Syiah mempunyai versinya sendiri). Menjadikan tanda dan prediksi Beliau tentang percabangan dalam Islam semakin mendekati kenyataan.

Kerugian

Memang betul dengan banyaknya aliran percabangan dalam memahami ajaran Nabi (Qur’an dan Hadist) disatu sisi semakin menciptakan perpecahan dalam kalangan umat Islam sendiri.

Banyaknya aliran telah terbukti menjadikan wajah Islam terpecah belah, dan sering dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan. Konflik yang terjadi di Timur Tengah adalah bukti kuat kekuasaan yang memanfaatkan perpecahan yang ada didalam ajaran Islam.

Konflik kepentingan yang ingin menguasai dan menancapkan kekuatan pengaruhnya di wilayah Timur Tengah, telah menjadikan aneka aliran tersebut sebagai pintu gerbang untuk memasukinya. Menjadi kuda troya bagi mereka yang ingin berkusa dan menguasai wilayah disana.

Antar golongan dengan mudah dimanfaatkan, diadu dan dibenturkan untuk saling tikam sendiri, orang-orang yang haus kekuasaan tidak perlu modal besar membuat prajurit atau tentara yang banyak, cukup menyediakan dana secukupnya maka konflik bisa tercipta dengan mudah. Mereka dengan cepat akan saling hujat, mengkafirkan, dan semacamnya yang pada ujungnya akan saling bunuh dengan sendirinya, hanya karena ingin mengesahkan bahwa tafsiran akan ajarannya adalah yang paling tepat dan sempurna.

Keuntungan

Namun disisi lain, juga bisa memberikan pengajaran dan pendidikan tentang cara berpikir terbuka, menghargai perbedaan, tidak kaku dan sakleg dalam memahami Qur’an, Hadist, Tuhan, Ketuhanan, dll, yang justru bisa memperkaya khazanah ke-Islam-an itu sendiri.

Menurut renungan saya, ada manfaat yang besar dengan tidak adanya penunjukan secara resmi oleh Rosulullah siapa yang menggantikan Beliau. Terutama bila ditarik kepada satu hadist yang terkenal Perbedaan-perbedaan umatku adalah rahmat”, meski hadist ini tidak memiliki sejarah periwayatan yang jelas (hadist yang lemah) namun banyak ulama sepakat bahwa hadist ini memiliki lebih banyak manfaat daripada mudarat

Dengan tidak ditunjuknya penganti Beliau secara resmi, maka umat Islam terhindar dari munculnya sosok atau kaum yang merasa secara legal ditunjuk untuk menjadi “Nabi”. Sosok atau kaum yang merasa paling berhak melanjutkan tugas Kenabian atau silsilah Kenabian.

Dengan tidak menunjuk secara resmi, Rosulullah SEJATINYA telah menutup peluang munculnya sosok atau kaum yang akan bertindak sebagai “Nabi berikutnya”. Dengan kekuasaan yang legal dari wasiat Rosulullah, maka pemegang wasiat tersebut sama dengan memenggang kekuasaan yang besar atas seluruh umat Islam.

Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi kelak, bila kekuasaan yang sedemikian besar atas seluruh Muslim di dunia, jatuh pada sosok atau kaum tertentu saja. Terlebih bila pergantian pemimpin tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, bukan tidak mungkin penyalah gunaan wewenang dan kekuasaan akan banyak terjadi.

Dengan penerus Nabi yang legal berdasarkan wasiat, maka wajah Islam akan sama seperti Katolik abad pertengahan. Dimana Islam akan menjadi terlembaga, akan ada institusi tunggal yang superior yang akan memberikan fatwa tunggal tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat Islam secara keseluruhan. Perbedaan menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, pemaknaan Qur’an dan Hadist harus sejalan dengan kebijakan otoritas tunggal tersebut.

Tanpa perbedaan Islam akan berwajah kaku, suram dan buram, ajaran Rosulullah akan dibakukan oleh kelompok yang mendapat legalitas atas umat Islam. Pemahaman dan pengartian Qur’an dan Hadist hanya boleh dilakukan oleh pemegang wasiat, umat yang lain tidak boleh lagi dengan seenaknya memberikan pengertian yang berbeda.

Tidak ada lagi kekayaan pemahaman seperti pernah terjadi pada Al-Ghazali, Ibnu Rusyid, Ibnu Sina, atapun Ibnu Arabi. Tidak ada lagi pemahaman kemanunggalan seperti Al-Hallaj, Abu Yazid ataupun Syekh Siti Jenar, dll. Tidak ada lagi ungkapan cinta yang berlimpah seperti Rumi dan  Nizami.

Islam tidak bakal memiliki para penemu hebat yang karya mereka menjadi rujukan atau menjadi awalan penemuan modern saat ini. Tanpa perbedaan, tokoh-tokoh pemikir Islam dipastikan akan tenggelam, pemikiran-pemikiran yang diluar kotak akan terkotakkan terlebih dahulu sebelum muncul kepermukaan.

Penutup

Kebenaran sejati selalu menjadi milik Allah Sang Maha Benar, bila kemudian pemahaman atas ajaran Nabi (Qur’an dan Hadist) dikuasai oleh sebuah lembaga tunggal saja, maka makna kebenaran akan dipaksa untuk tunduk pada satu terjemahan saja. Yang kebenarannya tentu belum benar yang sebenar-benarnya, karena bukan kebenaran hakiki milik Illahi tapi kebenaran menurut versi salah satu golongan.

Perbedaan dalam ajaran Islam menjadi sebuah anugrah, tiap-tiap Muslim secara mandiri (bukan lagi sekelompok) bisa memaknai ajaran Rosulullah menurut pengalaman pribadinya, menurut perenungannya, menurut pemikirannya.

Ada atsar (pendapat sahabat Nabi) yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berbunyi, “Berpikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.” 

Dan didalam Qur’an sendiri banyak ayat yang menyuruh umat Islam untuk bepikir dan merenung tentang alam semesta ini, bahkan Rosulullah sendiri bertafakur atau merenung didalam gua sebelum memperoleh wahyu.

Tauladan Nabi yang selalu bertafakur dan merenung harusnya tetap dilestarikan oleh tiap-tiap pribadi Muslim, terutama tafakur tentang semesta dan penciptaannya seperti hadist Rasulullah SAW. “berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.”

Karena dari situ adalah awal untuk mengenal dan memahami Dzat Allah pemilik kebenaran sejati. Salah dan benar, biarlah diputuskan oleh Pemilik-Nya, bukan oleh mereka yang merasa memiliki benar dan salah….

Perpecahan dan perbedaan yang terjadi saat ini akan menjadi pembelajaran umat Islam pada suatu saat nanti, terutama ditengah era keterbukaan informasi melalui media sosial. Era medsos seperti saat ini, menjadikan setiap perbedaan yang muncul akan dikritisi dan dipertanyakan, yang pada akhirnya akan muncul budaya berargumen yang sehat dimedia sosial. Dan tidak lagi melakukan budaya kekerasan dan pengebirian ide dengan vonis hukuman kematian bagi pemiliknya.

Islam tidak akan pernah menjadi agama yang terlembaga, Islam akan tetap bisa menjadi tuntunan bagi pribadi-pribadi mandiri.

73 golongan bukanlah mendung dalam teologi Islam, tapi sudah menjadi hujan yang akan menumbuhkan aneka biji tanaman dalam taman ke-Islam-an. Biji tanaman yang kelak akan tumbuh besar yang bisa menjadikan taman ke-Islam-an menjadi sebuah taman yang indah dengan aneka macam tanaman. Bahkan onak dan duri yang tumbuh bisa sangat bermanfaat, menjaga tanaman lain untuk tetap tumbuh subur. Semoga…..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar