Literasi, katanya orang-orang pinter adalah salah satu faktor yang bisa memajukan suatu bangsa. Mampu memberi dan mengkayakan wawasan masyarakat, hingga pada akhirnya bisa membuka cara pandang dan merubah pola berpikirnya.
Dan masih katanya pula bahwa jurnalisme atau media pemberitaan adalah salah satu pilar dalam berdemokrasi, yang katanya bisa menjaga arah pemerintahan supaya lurus dan benar. Karena jurnalisme dengan segala fasilitasnya (kode etik dan perlindungan hukum), harusnya lebih mampu menjangkau sisi-sisi lain dari sebuah kabar dan peristiwa.
Dua tugas berat ini adalah hal yang harusnya bisa dilakukan sekaligus seorang jurnalis, mampu memberikan bahan bacaan (literasi) yang murah dan meriah melalui aneka media yang ada (koran, majalah, televisi hingga internet). Namun juga mampu mencerahkan masyarakat dengan mengabarkan berita yang benar, termasuk didalamnya tidak mengabarkan “hoax” yang membangun.
Tapi melihat acara Mata Najwa beberapa waktu lalu, seolah tidak bisa lagi melihat sosok seorang jurnalis sejati yang ingin mencerahkan dengan mengabarkan sebuah kebenaran, namun lebih melihat sebagai seorang jurnalis yang sengaja ingin mengaburkan kebenaran.
Sudut yang diambil adalah ingin menggiring opininya sendiri atau bisa dibilang seorang Najwa lebih terlihat sebagai seorang spin doctor ketimbang seorang jurnalis, yang dengan sengaja membelokkan arah pembicaraan nara sumber sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa berdasarkan data-data yang ada serta dengan jelas mengabaikan semua uraian nara sumbernya.
Sebagai pembanding, jika seorang Najwa adalah jurnalis sejati, beranikah dia menghadirkan gubernur sebelumnya dan membuat pertanyaan-pertanyaan tajam mengenai lahan Sumber Waras atau pertanyaan-pertanyaan menohok tentang reklamasi dan penerbitan ijinnya?.
20 tahun setelah reformasi, jurnalisme kini terasa seperti kembali ke zaman sebelumnya. Propaganda oleh pemerintahan waktu itu dengan memberi materi berita yang tunggal dan seragam, yang dikeluarkan oleh menteri penerangannya. Propaganda atau framing berita kalau bahasa zaman now, kini sangat terasa seperti kembali ke zaman sebelum reformasi.
Rakyat kembali di nina bobok kan oleh pemberitaan dari satu peresmian ke peresmian berikutnya, bulan ini meresmikan ini pakai sepatu yang itu, bulan depan meresmikan itu pakai baju ini. Bagi remaja generasi tahun 80-90 an itulah berita yang biasa dilihat di koran-koran dan televisi waktu itu. Mirip zaman dahulu lagi, media berlomba memberitakan yang pertama untuk berita yang sama, ketimbang berlomba mencari sudut yang berbeda dari tema yang sama.
Seperti tol yang baru diresmikan, yang hanya sepanjang 14,5 km, yang kalau ditempuh hanya butuh 10 menit, tidak diulas dengan cerdas. Pajak rakyat mau dibawa kemana dan utang negara akan bagaimana, jarang ada berita yang mengulasnya hingga tuntas. Literasi dan pencerahan wawasan yang murah bagi rakyat mungkin hanya slogan basi. Lagi-lagi pola pembodohan terhadap kelas bawah terjadi lagi, lebih banyak jurnalis yang mengaburkan kebenaran dibanding mengabarkan kebenaran…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar