Telah dua periode pilpres (2009 dan 2014) memilih untuk tidak memilih alias bergolput ria, galau menentukan pilihan seperti
kebanyakan golputers lain. Khawatir salah dalam menentukan pilihan, serta takut dikibuli oleh janji-janji semanis madu para calon pemimpin.
Tapi melihat apa yang terjadi akhir-akhir ini rasanya kok terlalu sayang
untuk menjadi golputers lagi,
karena apa yang terjadi belakangan
ini mengingatkan
saya pada suana yang
mirip-mirip dengan rezim
di masa lalu.
Sebagai orang yang tumbuh di rezim tersebut merasakan sendiri bagaimana pemerintahan di jaman itu dijalankan.
Pada waktu itu rakyat sedikit mungkin diberi akses pada
pemberitaan yang benar/berimbang (dibodohi “pakai” berita media
masa), karena berita-berita yang
tayang pada masa itu
dibungkus sedemikian rupa (framing bahasa sekarang), sehingga rakyat hanya tahu berita persis seperti apa yang pemerintah mau. Banyak hal yang sengaja ditutup-tutupi,
dengan dalih demi keamanan nasional atau kalau memakai bahasa sekarang agar
tidak terjadi kegaduhan politik.
Berita kebobrokan pemerintah hanya bisa didengar melalui
bisik-bisik tetangga tanpa data dan fakta, kalau saat
ini mungkin sudah termasuk dalam kategori berita
HOAX, dan bisa dikenai pasal penyebar hoax. Sementara media masa yang kritis pada pemerintah
banyak yang dibikin sekarat terlebih dahulu, atau dibredel kalau jaman dahulu
menyebutnya (mirip saat ini yang tengah dalam proses pemberlakuan barcode untuk
memverifikasi media).
Dan setelah merenung selama tujuh purnama,
mandi di tujuh sumber air berbeda dengan ditaburi bunga
tujuh rupa, maka inilah beberapa tips yang bisa saya bagikan:
Pertama, Lihat seberapa dominan
orang-orang yang berada dibelakangnya (baca bandar),
karena mereka itulah yang nanti menjadi sebenar-benarnya penentu (mutlak) kebijakannya. Terkecuali jika dia seorang
“pemilik” partai yang
bersuara mayoritas,
seperti Suharto (32 tahun); Megawati (3 tahum) dan SBY (10 tahun), mereka akan punya setengah kekuatan
menentukan arah pemerintahan (berbagi kekuasaan dengan para bandar).
Kedua, lihat seberapa banyak media
pendukungnya, karena disinilah awal dibelokan dan dipelintirnya berita, jelek
bisa dipoles menjadi agak bagus serta bagus akan menjadi
terlihat hebat luar biasa. Banjir akan terlihat sebagai genangan, gusur bisa berarti
relokasi dan reklamasi terdengar seperti investasi. Mirip-mirip rezim dimasa lalu yang mengontrol berita-berita mana yang boleh disiarkan
mana yang tidak boleh disiarkan, hanya saja dipoles lebih halus dari segi cara maupun segi bahasanya.
Ketiga, lihat seberapa banyak dan kuat buzzers-nya, karena mereka ini akan
menyerang siapapun yang mempunyai
pikiran yang berbeda dengan kebijakan pemerintahan, pasukan yang tidak ingin berbagi ruang untuk perbedaan bersuara,
phobia terhadap
suara-suara sumbang. Mirip-mirip juga dengan rezim masa lalu, kalau dahulu buzzersnya berbentuk kumpulan masa dalam wujud nyata, berbentuk ormas-ormas pelindung
perintah, yang akan menghajar balik tiap demo-demo yang
menyuarakan penentangan terhadap
kebijakan
pemerintah.
Keempat, jadikan program para capres,
cagub, cawakot, dan segala ca-ca lain sebagai pertimbangan terakhir. Karena biasanya apapun programnya hanya beberapa saja yang akan
benar-benar dijalankan saat benar-benar terpilih, kalaupun akhirnya program dipenuhi anggap saja sebagai bonus tambahan.
Dengan melihat dan mempertimbangkan 4 hal diatas
paling tidak saya bisa meminimalkan resiko kesalahan dalam memilih. Kalaupun
jika terjadi kesalahan (lagi) dalam menentukan pilihan, paling tidak saya masih
bisa mengkritisi,
menyinyiri pilihan
saya tanpa rasa
takut akan bullying dari para buzzers-nya, dan terhidar dari jeratan aneka pasal
berlapis yang siap menghadang.
Dan yang lebih penting lagi buat saya adalah hak rakyat untuk
memperoleh pemberitaan yang berimbang (20 tahun pasca reformasi masak
rakyat/tuan akan kembali dibodhi “pakai” media masa). Calon yang tidak didukung
oleh banyak media masa, maka secara otomatis akan semakin banyak media yang
bersikap netral. Akan banyak media yang menayangkan berita tanpa pemelintiran ataupun pembelokan, karena media-media tersebut jelas tidak dibebani
oleh hutang-piutang dalam hal dukung-mendukung.
…..Golputer tobat…..
Sumber
gambar:
http://aceh.tribunnews.com/2017/02/17/data-desk-pilkada-lhokseumae-golput-mencapai-51-ribu-orang