Uneg-uneg kedua,
Radikal nya radikal (mumpung lagi ngetren), dari Islam itu adalah memurnikan tauhid, meniadakan Tuhan yang lain selain Allah.
Menduakan Tuhan (syirik) dalam wujud-wujud kasar, saya yakin sebagian besar Muslim sudah melawatinya dan orang-orang Salaf adalah jagonya. Keimanan mereka tidak bakal goyah oleh kekuatan lain seperti jimat, berhala, tempat-tempat keramat, hingga penguasa laut dan gunung.
Tapi bagaimana dengan syirik yang lebih halus, yang hanya terbetik dalam hati dan melintas dipikiran.
Misalnya,
Apa yang terbetik dalam hati dan terlintas dalam pikiran pelaku Salaf, ketika dua hari tidak memperoleh rejeki sama sekali?
Biasanya ada saudara Salaf yang datang, membawa sekilo dua kilo beras...
Biasanya ada ibu A, yang berbagi makanan...
Biasanya ada pak B, yang menawari pekerjaan bersih-bersih rumah...
Tapi sudah dua hari tidak seperti itu, belum ada makanan sedikitpun yang masuk ke perut...
Disaat seperti apa yang ada dihati dan pikirannya?
Masihkah hatinya berdiri kokoh seperti pohon raksasa, dihatinya hanya ada Allah semata, teguh dan menetap?
Atau hatinya mulai mendua, samar-samar terbetik dalam hatinya, harapan akan ada saudaranya yang datang mengantar sekilo beras, harapan pada ibu A yang datang berbagi makanan, harapan pada pak B yang datang menawari pekerjaan.
Katakanlah dia sendiri sudah bisa, hatinya kokoh tak terhoyahkan, tapi bagaimana dengan istrinya, bagaimana dengan anaknya, apakah level mereka juga sama? Bagaimana kalau istrinya diam-diam dalam hatinya mengeluh, bagaimana kalau diam-diam anaknya menangis sedih?
Atau misalnya pada saat sakit yang parah, butuh perwatan di rumah sakit, yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Apa yang akan dilakukannya? Apakah hatinya akan terus bersandar pada Allah, atau dia justru lari pada makhluk, mencari pinjaman uang untuk biaya pengobatan?
Itulah uneg-uneg saya tentang orang-orang yang berhijrah meninggalkan semuanya, meski saya tahu keimanan adalah hal rumit, panggilan hati, tiap-tiap orang berbeda pengalamannya, berbeda rasanya, dll.
Sebagai penutup,
Shirat al-Mustaqim, jalan lurus yang diibaratkan seperti rambut dibelah tujuh, ke kanan sedikit tergelincir, ke kiri sedikit terpeleset. Jalan yang payah, untuk pemula ataupun yang lama, sama saja, terengah-engah, setapak demi setapak, entah kapan sampainya, atau malah tidak pernah sampai diujungnya.
Ada kalimat yang saya lupa darimana, ayat, hadis, buku atau malah dari seseorang, "...bukan amal ibadahmu yang akan menyelamatkan mu, tapi cinta-Nya kepadamu dan rindumu kepada- Nya".
Bukan Alphard atau Rubicon yang bisa megantar seseorang untuk mudik ke kampung halamannya, tapi rasa rindunya pada keluarga dan cinta dari orang-orang tersayanglah, yang membuat seseorang sanggup dan kuat berdempet-depetan di kapal Pelni, berhari-hari.