Saat berbuka puasa
sering tanpa sadar dalam hati berucap syukur dengan memuji kebesaran Allah
dengan mengucap hamdallah. Satu hal yang memang wajar, setelah menahan haus dan
lapar seharian maka detik-detik berbuka puasa menjadi saat yang ditunggu. Tak
berlebihan memang bila ucapan rasa syukur bisa terucap tanpa sadar.
Namun patut
direnungkan pula, disaat seperti itu apa yang sebenarnya disyukuri hingga
terucap bacaan hamdallah. Apakah rasa syukur itu atas dasar diperbolehkannya/dibebaskannya
lagi sang nafsu (makan) untuk kembali menjadi mesin giling yang dengan rakus
boleh melahap apa saja yang ada dihadapannya, es cendol, es buah, es degan,
ayam goreng, tempe penyet, sambel petai dsb. Yang tidak lebih seperti sorak
sorai kemengan sang nafsu, merasakan kembali bebasnya sang nafsu yang siap
melumat habis kembali semua upaya menahannya sepanjang hari.
Ataukah bersyukur
karena merasa dirinya kuat menahan lapar dan haus hingga sore hari, kuat
mengekang nafsunya sekuat tenaga hingga mampu menjalankan semua amalan ibadah
bulan puasa dengan baik. Merasa dengan kekuatan tenaganya mampu menjalankan
semua amalan ibadah dengan baik dan sempurna. Yang tidak lebih seperti kemenangan
ponggah ke-aku-annya, yang merasa
mampu dengan kekuatannya sendiri menahan nafsunya tanpa sedikitpun mengakui
anugerah dan kasih/sayang Allah.
Ataukah bersyukur atas nikmat iman (kesehatan rohani) dan fisik (kesehatan jasmani) yang telah diberikan oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, hingga bisa kuat menjalankan puasa dengan baik. Yang mungkin adalah tanda kemenangan sejati atas nafsunya, baik selama menahan haus dan lapar seharian, bahkan hingga sepanjang malam setelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar