Ketika Adam AS dan Hawa AS diperintahkan untuk tidak mendekati dan memakan buah terlarang mustahil bagi Tuhan Yang Maha Pencipta untuk tidak tahu apa yang akan terjadi. Begitu juga ketika memerintahkan nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan putranya Ismail AS mustahil bagi Tuhan untuk tidak tahu seberapa besar keimanan nabi-nabinya.
Kisah para nabi ini hanyalah sarana bagi Tuhan untuk mengajari makhluknya agar belajar dan menauladani sifat serta sikap para nabi saat kejadian serupa menimpanya. Bila pada nabi Adam AS, umat setelahnya diajak untuk belajar menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia (tempat salah dan dosa), agar semua makhluknya tidak lupa bahwa Tuhan-lah yang Maha Sempurna, Maha Pengampun dan Maha Pemaaf.
Sedangkan pada Nabi Ibrahim AS, selain belajar arti sebuah ketaatan dan kepatuhan juga belajar bahwa tidak ada yang patut dicinta dan dipuja selain Tuhan Semesta Alam. Anak semata wayang yang sekian lama di idamkan kehadirannya jelas menjadi suatu yang paling berharga dan patut dicinta dengan sepenuhnya. Tak ingin makhluknya terlena dengan keindahan dunia, terlampau mencintai dan berkeingginan untuk menggenggamnya maka diperintahlah Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan putranya.
Bukan hanya dalam arti akan makna kehilangan putranya, tapi yang terpenting adalah kesadaran dan kemauan Nabi Ibrahim AS untuk membunuh rasa cintanya kepada sang anak untuk dipersembahkan hanya pada Tuhan Yang Maha Sempurna. Maka bersediakah kita membunuh rasa terlalu cinta kepada selain-Nya, membunuh rasa terlalu cinta akan harta, membunuh rasa terlalu cinta akan jabatan, atau bahkan mungkin membunuh rasa terlalu cinta pada keluarga untuk dipersembahkan pada-Nya?
Karena mungkin hanya dengan jalan mencintai-Nya secara sungguh-sungguh, maka kita bisa menemukan arti cinta yang sebenarnya, mencintai keluarga, sesama, dunia ataupun harta sesuai dengan tempatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar