Senin, 31 Maret 2014

Menguji Sang Nafsu (ke-aku-an)



Di artikel sebelumnya saya menulis tentang caci dan puji yang seharusnya bisa diterima sama,  dan memang bukan hal mudah, penulis sendiripun belum bisa nglakoni-nya (masih sebatas anggota nato). Dari mana saya tahu kalau saya sendiri masih cuma omong doang, atau mungkin  sudah ada yang bisa nglakoni-nya tapi masih ragu-ragu kebenarannya. Ada cara mudah untuk mengetahuinya, apakah masih sekedar ucapan saja atau sudah sampai pada pengamalan atau praktek.



Cobalah dengan menjalankan ibadah sholat seperti gambar diatas, ditengah keramain dan kerumunan orang banyak. Atau cobalah bersedekah atau memberi sumbangan dalam jumlah yang besar (di atas sejutaan), dan lakukan itu dengan cara yang terbuka atau diketahui orang banyak.

Kemudian rasakan betul-betul apa yang terlintas di dalam hati dan pikiran saat melakukan hal tersebut, banggakah, senangkah, hebatkah, malukah, sungkankah, segankah? Bila perasaan-perasaan seperti itu salah satunya masih terlintas dalam hati atau pikiran berarti belum ada keridhoan ataupun keikhlasan, berarti masih sampai pada tahap di ucapan saja.

Tak berlebihan bila dikatakan, menuntut ilmu itu dari ayunan hingga ke liang lahat, sepanjang waktu adalah ajang untuk pembelajaran dan penyempurnaan diri. Belajar untuk menjadi manusia yang sempurna, menjadi makhluk yang sadar akan sifat ke-lumpur-annya (tempat salah dan dosa) sekaligus sadar sebagai makhluk mulia karena di anugerahi nafas cinta-Nya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar