Pada
jaman dahulu kala, sebelum tanah Jawa ini dihuni oleh puluhan juta manusia seperti
ini adalah hutan belantara yang sangat angker. Dihuni makhluk astral berbagai
jenis dan golongan, dan bisa diibaratkan “jalma mara jalma pati”, kalau ada manusia
yang datang bisa dipastikan tidak bisa kembali lagi.
Hingga
suatu saat datanglah seorang sakti mandraguna yang penuh kecerdikan dan kecerdasan,
yang dengan kesaktiannya mampu mengalahkan pemimpin para makhluk tersebut. Dengan
kecerdikan dan kecerdasannya bisa membuat etung lan petung (kesepakatan dan
perjanjian) dengan mereka.
Akhirnya
sang sakti mandraguna diperbolehkan tinggal dan beranak pinak di tanah Jawa
asal sesusai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, apabila ada anak turun
yang melanggar kesepakan dan perjanjian tersebut maka akan mendapat celaka dan
bencana, menjadi tumbal atas pelanggaran tersebut.
Apakah
benar cerita tersebut? entahlah…. Namun yang jelas pesan-pesan yang disampaikan
turun temurun oleh para leluhur tersebut pastilah ada makna dan artinya.
Bagi
saya makhluk astral tersebut bukanlah mitos, tapi makhluk mistis yang masih
menjadi misteri keberadaannya. Antara ada tiada, ada karena Tuhan Maha Pencipta
pastinya mampu menciptakan aneka jenis makhluk beserta alam lingkungannya,
tiada karena keterbatasan pemahaman, ilmu dan cara melihat saya yang mungkin belum
benar adanya.
Keaneka
ragaman jenis makhluk tersebut harusnya tidak menjadi perbedaan, namun
bisa saling mengisi dan melengkapi. Karena
bisa saja mereka tidak tinggal jauh dari lingkungan kita namun dekat
berdampingan, hanya mungkin berbeda suasana alamnya.
Tapi
apa mau dikata, kebutuhan manusia semakin hari semakin luar biasa saja, punya
satu masih pingin dua, punya dua pingin lima, dst. Mobil atau rumah harusnya satu atau dua saja sudah
cukup, tapi namanya manusia ingin lebih dan lebih lagi. Yang akhirnya membutuhkan lebih banyak lahan
untuk memenuhi kebutuhan mereka, tak pelak sawah, ladang dan hutan dijarah, menjadi
korban keserakahan manusia.
Sawah,
ladang dan hutan yang mungkin adalah sisa-sisa terakhir tempat hunian para
makhluk astral tersebut akhirnya semakin sempit tergusur oleh tingkah polah
manusia. Tempat tinggal, jalan, pasar dan tanah lapang tempat bermain anak-anak
merekapun pada akhirnya tidak terisa lagi. Diganti dengan jalan tol, perumahan,
dan gedung pencakar langit milik manusia.
Mungkinkah
para korban di tol Cipali adalah tumbal-tumbal yang bertumbangan karena
dilanggarnya perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat? Entahlah….. Karena bisa
jadi mereka adalah korban amarah mereka yang sudah tidak tahan digusur dari
pojok sini kepojok lainnya, dipinggirkan dan disingkirkan.
Atau perlukah dilakukan ritual pengorbanan
kepala sapi, kerbau atau kambing untuk meredam amarah mereka? Entahlah…... Karena
bisa jadi pula ritual pengorbanan aneka macam kepala binatang juga tidak akan
mampu meredam amarah mereka. Karena hanya akan menjadi semacam ganti rugi,
akal-akalan dari manusia untuk menyogok beberapa oknum diantara mereka, namun
tidak bisa menggantikan sakit hati keseluruhan
dari mereka yang tergusur dan tergeser.
Tumbal
mungkin bukan mitos ataupun mistis, tapi sekelumit cerita para leluhur untuk mengajak
dan mengingatkan generasi setelahnya agar terus menjaga keharmonisan dan
keseimbangan hubungan antara alam sekitar dan manusianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar