Meski sama-sama penyuka bola, tapi pada akhirnya sudut pandang adalah hal
yang membedakan antara komentator bola dan pemain bola. Bila dari titik 0 dua
garis sudah memiliki sudut meski hanya 1 derajat, maka bila ditarik hingga
ribuan kilo meter pun tetap tidak akan bisa bertemu diujungnya (bahkan akan
semakin melebar).
Sehebat apapun seorang komentator bola mencoba mejelaskan tentang nafsu
haus gol seorang penyerang (bahkan hingga mulutnya berbusa-busa), tidak bakal
sedikitpun bisa mewakili penjelasan yang sebenarnya dari sudut pandang pemain
yang sesungguhnya.
Sehebat apapun seorang pengamat bola tidak bakal bisa menjelaskan
keikhlasan dari para pemain bola yang membela negaranya, keikhlasan dari pemain
bola yang hanya diberi penghargaan dan gaji sekedarnya.
Tidak ubah seperti menjelaskan manisnya gula aren dengan sudut pandang gula
kristal/pasir, meskipun seorang ahli gula kristal yang telah puluhan tahun
meneliti dan mempelajari gula kristal tersebut, tetap tidak akan bisa dengan
tepat menjelas manisnya gula aren.
Selama belum pernah mencicipi atau merasakan gula aren, maka penjelasan
tentang manisnya gula aren hanyalah sekedar rabaan, pekiraan, penyamaan, dan
sebagainya, tidak lebih dan tidak kurang.
Menjelaskan tentang nafsu, ikhlas, manis tanpa pernah mencoba mengalaminya
sendiri, hanya akan berujung pada kata inikah
rasanya, bukan inilah rasanya.
Itulah perbedaan besar antara pelaku dan komentator, seperti perbedaan
antara guru sufi dan murid sufi, sang guru pernah nglakoni sendiri semua yang pernah disampaikannya/diajarkannya, sementara
sang murid hanya sekedar katanya guruku.
Sang guru tak butuh menulis di blog pribadi maupun blog keroyokan untuk
memberikan pencerahan, sementara sang murid dengan semangat ’45 menunjukkan
“kepintarannya” dengan menulis dan berbicara hingga berbusa-busa........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar