Kalau
menengok sejarah berdirinya MUI (http://mui.or.id/sekilas-mui), didirikan pada era pemerintahan
presiden Suharto, tepatnya pada tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Dimana
pada saat itu tengah dilakukan pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi pada masa itu, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan
Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan
yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang
ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah
Nasional Ulama I.
Dan yang paling menarik dari sejarah berdirinya MUI
tersebut adalah kutipan berikut ini, [[Dalam kaitan dengan
organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak
dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi
organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya
sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.
Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari
berbagai kelompok di kalangan umat Islam.]]
Menjadi lebih
menarik ketika ditarik kemasa kekinian tentang fatwa BPJS yang telah
dikeluarkan oleh MUI. Menimbulkan pro - kontra dikalangan muslim sendiri,
bahkan menjadi hujatan dari kalangan non muslim (paling tidak tergambar dijejaring
sosial).
Sebetulnya kalau
merujuk pada niat atau tujuan awal pendiriannya, menjadi wadah silaturrahmi ulama sekaligus tempat
untuk bermusyawarahnya para ulama.
zuama dan cendekiawan muslim. Maka semua fatwa MUI didasarkan untuk memberikan
kajian ke-Islaman dalam memandang dan menyikapi perkembangan baru yang ada di
masyarakat.
Atau secara sederhana, para ulama, zuama dan cendekiawan
muslim, ingin memberikan garis besar tuntunan apa yang sebaiknya dilakukan dan
tidak dilakukan oleh muslim dalam menyikapi isu atau perkembangan baru yang
muncul didalam masyarakat.
Dan jika, MUI bukanlah lembaga yang menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi
organisasi lain atau memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam. Maka fatwa yang dikeluarkannya-pun
sebetulnya tidak bisa mengikat apalagi menjadi keharusan dan kewajiban semua
muslim untuk mengikutinya. MUI hanyalah lembaga kajian yang memang bertujuan untuk
memberikan garis besar tuntunan kepada umat muslim tentang isu dan masalah kekinian.
Pada akhirnya, semua kembali pada masing-masing
perseorangan dari setiap muslim, mau mengikuti atau tidak fatwa tersebut.
Karena semua pertanggungjawaban dihadapan Tuhan juga akan kembali pada
masing-masing personal, tidak bakalan bisa diwakilkan…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar