Ilustrasi,
Pak Indro sedang menyuruh anaknya yang bernama Dono untuk naik sepeda, “ Ayo
Don naikin sepedanya!”
Dari tembok rumah sebelah, Pak Kasino yang lagi berkebun langsung
memprotesnya, “Gila lu nDro! Anak umur 3 tahun sudah lu suruh naik sepeda”.
“Apa lu kaga tahu kalau ntu anak masih belum bisa naik sepeda!”, tambah Pak
Kasino.
Dari sudut pandang pak Kasino itu memang benar adanya, kekawatiran pak
Kasino memang beralasan, bagaimana nanti kalau Dono jatuh, kecebur selokan atau
ditabrak motor. Dan tuduhan kalau pak Indro sangat kejam pada anaknya pun juga
menjadi beralasan pula
Namun bisa jadi berbeda bila sudut pandang itu dari pak Indro sendiri,
sebagai orang tua yang membesarkan Dono, sudah pasti tahu betul bagaimana
kemampuan si Dono. Kaki-kakinya belum sampai ke tanah untuk bisa membuat
sepedanya tetap berdiri, keseimbangannya pun masih belum terlatih dengan baik.
Tapi pak Indro yakin bahwa anaknya mampu untuk menaiki sepeda itu, maka
disuruhlah si Dono untuk menaiki sepeda itu supaya dia mulai belajar, dengan
harapan si Dono cepat mengerti dan bisa naik sepeda dengan sendirinya.
Dan sebagai orang tua yang begitu besar tanggung jawabnya terhadap
keselamatan anak, Dono pun sudah dilengkapi dengan alat keselamatan seperti
helm dsb. Serta tak lupa akan selalu mengawasi dan mejaga si Dono dari
belakang, dan siap memegangi sepeda tersebut bila terlihat tanda-tanda akan
terjatuh.
Di sini tujuan pak Indro menjadi jelas, ingin anaknya mempraktekkan langsung
apa yang selama ini hanya sebatas teori bersepeda, pak Indro ingin anaknya
mengalami sendiri rasanya bersepeda itu seperti bagaimana.
Dari ilustrasi sederhana tersebut,
Mungkin bisa SEDIKIT disamankan
dengan apa yang terjadi pada Ibrahim AS, ketika Tuhan memerintahkan Ibrahim As untuk
mengorbankan anaknya, apa benar Tuhan tidak tahu keimanan seorang hambanya? Dan
apa tidak kejam perintah seperti itu?
Dari sudut pandang manusia mungkin benar saja anggapan seperti itu, tapi
bila mencoba dari sudut pandang ke-Tuhanan mungkin saja akan berbeda.
Sedikit mundur kebelakang, ketika masih belum berkeluarga Ibrahim AS pernah
di bakar dalam kobaran api, saat itu dengan tegas Ibrahim AS menolak tawaran
malaikat yang ingin membantunya, bagi Ibrahim AS cukup baginya hanya Tuhan saja
tidak dengan yang lain.
Namun begitu Ibrahim AS berkeluarga dan punya anak, cintanya mungkin mulai tergoyahkan
dan mendua, rasa cinta pada anaknya mulai berkembang dan membesar mendesak
kecintaannya pada Tuhan. Dan tak ingin Sahabat-Nya itu terlena, tak ingin dunia
menarik serta menggenggamnya, maka diperintahlah Ibrahim AS untuk mengorbankan
anaknya.
Untuk mengajari Ibrahim AS, bukan hanya sekedar dalam teori tapi prakteknya
secara langsung, makna cinta yang sebenarnya bukan hanya sebatas cinta dunia
yang maya dan sementara ini tapi cinta sejati kepada Sang Maha Sejati.
Dan bagi saya pribadi Ibrahim AS ini adalah sosok makrifat sejati,
menyaksikan sendiri atau mengalami sendiri semua jenak-jenak tentang Tuhan dan
Ketuhanan-Nya.